Jumat malam (28/06), saya mengumpulkan sahabat-sahabat untuk kumpul kecil-kecilan di Jalan Surabaya. Agenda kumpul ini kami isi dengan makan nasi kebuli dan saling diskusi tentang makna haji. Seorang kawan, Danial, menyampaikan hasil analisisnya dari berbagai sumber, tentang awal mula titel haji. Konon, tidak ada negara lain di dunia yang memberi gelar “Haji” di awal nama penduduk yang telah menyelesaikan rukun Islam terakhir itu.

“Dulu, pemerintah Belanda menyematkan predikat haji sebagai stempel, untuk memudahkan mencari sumber-sumber pemberontakan. Karena, waktu itu, tiap yang pulang haji pasti menjadi inisiator perlawanan,” kata Danial.

Hal tersebut valid. Karena, di Sumatra Barat, ada Hamka, di Sulsel sekaligus Banten ada Syekh Yusuf. Para tokoh ini mulai mengajak menuju perbaikan – yang artinya perlawanan atas penindasan – usai pulang dari berhaji.

Danial melanjutkan, kalau dulu, pulang haji berarti dimulainya perlawanan, atau ‘fight against’. Kalau kini, pulang haji adalah meneruskan perjuangan atau ‘fight for’.

Ungkapan dari Danial ini sebenarnya sejalan dengan tulisan saya di Republika yang dimuat pada saat saya masih melaksanakan tahapan berhaji. Bahwa haji itu adalah bentuk solidaritas Muslim global dan gerakan untuk membangkitkan kesalehan sosial. Artinya, ‘PR’ dari tiap yang pulang berhaji adalah ‘fighting for’ atau bersama mewujudkan kesalehan sosial, untuk tujuan-tujuan yang lebih mulia.

Setelah diskusi selama kurang lebih satu jam, acara kumpul-kumpul kami akhiri dengan berdoa bersama. Saya sendiri yang memimpin doa, dalam bahasa Indonesia. Beberapa lembar naskah doa saya bacakan, sehingga sesi ini berakhir kira-kira lima belas menit. 

Kata orang, umrah adalah meninggalkan rumah kita untuk menuju rumah Allah. Tetapi haji adalah meninggalkan rumah Allah untuk menuju diri-Nya.. 

Semoga rekan-rekan pembaca diringankan langkahnya, bersama kita meniti jalan menuju rahmat dan kasih sayang-Nya.