Refleksi FGD dalam rangka Milad DMI ke-49 tahun dengan tema “Bangkit dari Masjid : Merumuskan Masjid sebagai Masa Depan”

Arief Rosyid Hasan (Ketua Dep. Pemuda DMI, Ketua Komite Pemuda MES)

Dua kategorisasi Masjid ini perlu saya highlight untuk membuka gerbang diskursus tentang seberapa penting peran Masjid ditengah Pandemi Covid19 ini. Apakah Masjid hanya sebagai monumen pasif atau Masjid bergerak secara aktif.

Dalam satu forum “UAS dan UAH Bicara Keumatan dan Kebangsaan” yang diadakan JATTI (Jaringan Alumni Timur Tengah Indonesia), UAH menyentil peran JATTI yang perlu maksimal untuk umat dan bangsa.

Lebih khusus, UAH menyoroti bagaimana JATTI harus memperkuat Masjid yang tersebar di berbagai pelosok hingga daerah strategis. Tak ada fasilitas publik sebanyak Masjid, jumlahnya berkisar 800 ribu hingga sejuta dari pelosok desa hingga pusat kota.

UAH menyebut dengan istilah Masjid Solutif, harus berperan secara sosial ekonomi dalam mengatasi berbagai masalah keumatan dan kebangsaan. Melihat Indonesia yang sangat luas, terang saja argumentasi UAH menjadi sangat relevan. Pemerintah dengan segala upaya mustahil bisa menyelesaikannya sendiri.

Kekuatan dan peran umat beragama, khususnya umat Islam di Indonesia, sejak sebelum kemerdekaan hingga kini masih terbukti sangat signifikan dalam menopang kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dalam FGD “Bangkit dari Masjid : Merumuskan Masjid sebagai Masa Depan”, berbagai Masjid di Indonesia telah melakukan perannya dengan baik di tengah Masyarakat.

Masjid Kapal Munzalan di Pontianak, terletak di kawasan penduduk 95 % nonmuslim. Tapi mampu menyuplai kebutuhan beras untuk 200.000 santri dan anak yatim setiap hari.

Masjid Kurir Langit di Barru, terletak kurang lebih 100an km dari Kota Makassar, tapi mampu memberi kontribusinya untuk membantu masyarakat kurang mampu dari berbagai panti asuhan yang ada di Indonesia.

Dalam FGD yang diadakan oleh Departemen Pemuda PP DMI dalam rangka Milad ke-49 DMI tersebut, dihadiri berbagai aktivis organisasi Masjid seperti BKPRMI, Prima DMI, ISYEF, JPRMI, Masjid Enterprise, Masjid Kurir Langit, dan kawan-kawan.

Dari kegiatan tersebut juga muncul istilah Masjid Mubazir yang digaungkan oleh Ketum JPRMI (Jaringan Pemuda & Remaja Masjid Indonesia) Yosse Hayatullah.

Masjid Mubazir bagi saudara Yose adalah ketika kehadirannya di tengah-tengah masyarakat tak memberi dampak apapun. Hanya pasif menunggu sumbangan dan menimbunnya.

Potret ini yang banyak kita saksikan diberbagai tempat. Antara Masjid dan masyarakat/umat tampak betul kesenjangannya, Masjid berdiri megah ditengah masyarakat yang miskin dan kelaparan

Belum lagi fenomena kesenjangan antar Masjid, ada satu Masjid yang bergelimang harta ditengah Masjid yang masih mengais sumbangan di jalan-jalan. Ini akan coba kami tulis nanti bagaimana konsep “Sister Mosque”.

Kesenjangan Generasi di Masjid

Akar masalah yang terang dari berbagai masalah Masjid diatas adalah masalah kesenjangan generasi. Dominasi generasi senior membuat generasi penerus tidak mau atau enggan untuk ikut terlibat dalam memakmurkan Masjid.

Dari data yang disampaikan salah satu peserta FGD yang mewakili BKPRMI (Badan Komunikasi Pemuda dan Remaja Masjid Indonesia) Ustad Nanang, bahwa pengalaman berkeliling seluruh Indonesia menemukan peserta dari berbagai aktivitas di Masjid menunjukkan cuma 10-15% generasi muda terlibat aktif di Masjid.

Data ini tentu saja menyesakkan dada, mengingat jumlah penduduk Indonesia yang kini di dominasi oleh mereka yang berusia muda. Usia 0-44 tahun, yang berusia muda dan terancam muda berkisar 72% dari total Penduduk Indonesia.

Kesenjangan tua dan muda ini memang berdampak sistemik jika tidak terkelola dengan baik. Dua potensi antara kenyang pengalaman dan energik dalam berinovasi inilah yang harus dikawinkan.

Kebesaran hati generasi senior untuk memberi ruang pengelolaan Masjid kepada generasi muda adalah kunci. Selain itu, tentu saja agar tak bertepuk sebelah tangah, generasi muda harus siap mewakafkan tenaga dan pikirannya untuk Masjid.

Bertemunya kedua generasi ini akan saling melengkapi dalam mendekatkan kehadiran Masjid Solutif dan menjauhkan kehadiran Masjid Mubazir di Indonesia.

Kita tentu tak membayangkan bagaimana dahsyatnya dampak jika Masjid-Masjid di Indonesia mengambil peran dalam membantu Pemerintah dan masyarakat ditengah krisis akibat Pandemi Covid19.

Saya membayangkan bagaimana anak-anak muda di Indonesia bergerak serentak mengambil peran memfungsikan Masjid Solutif dalam mengatasi dampak sosial ekonomi dari Pandemi Covid19.

Ada yang memerankan Masjid dalam melakukan fungsi 3T (Testing, Tracing, dan Treatment) seperti yang dilakukan Masjid Al Kautsar di Tangsel-Banten.

Ada yang membantu masyarakat dengan bantuan sembako seperti yang dilakukan Masjid Kurir Langit di Barru Sulsel, Masjid Kapal Munzalan di Pontianak Kalbar, Masjid Berkah Box di Balikpapan Kaltim.

Inisiatif ISYEF yang mendorong peran ekonomi Masjid dengan mendorong remaja Masjid mendirikan tempat ngopi di Masjid Cut Meutia Menteng Jakpus atau tempat cuci motor Masjid Darul Muttaqin Makassar Sulsel.

Juga inisiatif warga yang membuat hidroponik untuk kebutuhan warganya di Masjid Al Furqan Depok Jabar dan kebun untuk ketahanan pangan masyarakat di Masjid Baburrahman Makassar Sulsel.

Masjid Agung Sunda Kelapa Menteng Jakpus bekerjasama dengan Bank Syariah Indonesia dan Relawan Indonesia Muda mengadakan vaksinasi untuk remaja dan masyarakat umum di Masjid.

Tentu masih terlalu banyak ikhtiar dari Masjid-Masjid lain di seluruh Indonesia yang belum sempat saya tulis. Tapi melihat Pandemi Covid19 adalah masalah kita bersama tentu harus kita hadapi secara bersama-sama dengan gotong royong.

Tak ada tempat untuk kita saling menyalahkan ditengah badai krisis seperti ini, yang perlu adalah mengambil peran sekecil apapun untuk memutus transmisi penyebaran Covid19 dan membantu sekitar kita.

Teringat apa yang disampaikan Bung Karno, Bapak Proklamator Indonesia. “Islam tidak menyuruh orang duduk termenung sehari-hari di dalam Masjid memutarkan tasbih, tetapi Islam Ialah perjuangan. Islam is progress: Islam Itu kemajuan!” (Surat Bung Karno kepada A. Hassan, 1934)