Oleh : drg. Arief Rosyid

(PP Dewan Masjid Indonesia, Pokja Pelayanan Kepemudaan Kemenpora)

Sejak baligh atau masuk usia dewasa, kita telah peroleh banyak tanggung jawab. Khususnya seorang muslim wajib melakukan setiap hal yang diwajibkan oleh syariat. Tentu seperti yang sejak lama menjadi pegangan kita, melakukannya peroleh pahala, meninggalkannya diganjar dosa.

Kebijakan ini tentu seperti “sistem merit” dalam manajemen sumber daya manusia. Mereka yang berprestasi perlu peroleh penghargaan, begitupula sebaliknya mereka yang tak menampilkan kinerja yang baik sudah sepatutnya peroleh hukuman.

Penanda usia baligh atau dewasa ini menurut Mahzab Syafii adalah sempurnanya usia lima belas tahun, ihtilam atau bermimpi, dan haid. Setelah itu sudah menjadi kewajiban untuk melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.

Penegasan ini tak perlu lagi ditawar jika kita sadar akan segala konsekuensi penciptaan-Nya. Demikian dalam bulan Ramadan, kita peroleh perintah untuk melaksanakan puasa selama sebulan penuh. Karena puasalah kita pantas peroleh gelar takwa.

Lantas seperti apa dampak dari ketakwaan oleh mereka yang baru peroleh kedewasaan dan secara usia masuk dalam kategori milenial? Juga hakikat dari Idulfitri bagi milenial? Dalam hal ini dalam konteks berbangsa dan bernegara.

Pusparagam Ketakwaan Milenial

Ramadan bagi milenial adalah candu, mereka berbondong-bondong hadir meramaikan masjid. Tiap Ramadan datang, sudah tentu masjid semakin padat dengan beragam aktivitas.

Tak sedikit milenial yang lepas Ramadhan, peroleh ketakwaan. Sebagaimana tujuan yang sebenar-benarnya dari berpuasa dalam Surat Al-Baqarah ayat 183, adalah supaya kita bertakwa.

Ketakwaan itu disambut oleh masjid, yang kata pakar geografi, David Harvet sebagai space of hope: ruang elaborasi terhadap ide dan tantangan zaman.

Sebut saja kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh masing-masing pengurus Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) hingga para muda-mudi di dalamnya.

Apakah kita masih ingat buku Amaliah Ramadan saat sekolah dulu? Ya, buku itu mendorong pelajar untuk lebih sering ke masjid, misalnya dengan mewajibkannya untuk menulis tema khotbah dan siapa khatib pada saat salat taraweh. Tak cukup dengan itu, biasanya padat juga program baca dan hapal Quran, lomba azan, dan kegiatan-kegiatan lainnya.

Semisal di Masjid Cut Meutia Menteng, tiap tahun dilaksanakan Ramadhan Jazz Festival, yang hadir tak kurang dari puluhan ribu generasi milenial. Di Masjid Al Amin, di salah satu gang di Radio Dalam, tak kalah hebatnya. Remaja/pemuda masjidnya melaksanakan Prisma Fair Masjid Milenial.

Teman-teman dari satuan unit ekonomi masjid, ISYEF, berkeliling ke 6 Provinsi melaksanakan Khatam Fest dengan ribuan peserta. Ada pula Ngabuburide bersama Ust Hanan Attaki dengan puluhan ribu peserta juga dibeberapa kota. Juga Hijrah Fest di Jakarta selama tiga hari full, sebelum hari raya Idulfitri.

Kemenangan yang Fitrah

Selanjutnya Bagaimanakah kemenangan dalam Idulfitri? Kemenangan yang monumental tentunya. Kemenangan seperti itu perlu lebih dirancang strategis, sehingga melenting jauh ke masa depan sesuai yang dicita-citakan. 

Syaratnya tentu saja dimulai dengan semangat kembali ke fitrah. Potensi fitrah tersebut pada dasarnya bersifat baik dan bijaksana, karena secara alamiah potensi tersebut bergerak transenden ke-Ilahi-an.

Fitrah tersebutlah yang dikembalikan ke titik dasarnya dengan penggemblengan selama sebulan penuh Ramadan. Ia yang seringkali terbenam dan karam dalam ketidaktahuan dan kealpaan, disadarkan dengan agenda-agenda penyucian selama sebulan.

Aktualisasi fitrah dengan nada dasar kebaikan dan kebijaksanaan selanjutnya akan mengajak diri kita untuk bersenyawa dalam gerakan yang sederhana namun kongkrit. Misalnya upaya untuk bergandengan tangan dan saling tolong menolong dalam kebaikan, atau dalam bahasa milenial adalah saatnya berkolaborasi.

Aktualisasi fitrah itu dibutuhkan dalam menghadapi berkah (atau musibah) kependudukan sejak 2012 yang sering disebut sebagai bonus demografi. Bonus demografi ini akan bertahan hingga 2035, mencapai puncaknya sepanjang 2028-2031.

Secara sederhana bonus demografi yakni semakin dominannya jumlah angkatan kerja, dibanding dengan usia senja atau usia dini. Bonus demografi hanya dialami sekali dalam sejarah sebuah bangsa. Bangsa Jepang, Korea, dan Cina mengalami peningkatan pembangunan selama beberapa dekade terakhir, karena memanfaatkan bonus demografi yang lebih dulu mereka alami.

Kita hanya punya waktu kurang dari 10 tahun untuk menyiapkannya. Perlu paradigma dan intervensi kebijakan negara yang tepat. Perlu kerjasama lintas sektor yang lebih terkoordinasi dan terencana. Perlu inisiatif baru antara negara dan berbagai kelompok sosial untuk menyiapkan kualitas sumber daya manusia, angkatan kerja yang lebih baik.

Gayung bersambut karena di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo yang akan memfokuskan kerjanya pada pembangunan sumber daya manusia tersebut. Tentu ini yang sudah lama dinanti, karena ledakan usia produktif atau bonus demografi tersebut benar-benar akan menjadi berkah ketika diisi oleh sumber daya manusia yang produktif dan berkualitas.

Seperti apa, tergantung bagaimana para milenial menyambutnya. Milenial sebagai generasi terbesar yang otomatis sebagai tulang punggung bangsa, sudah sepatutnya memenuhi syarat kembali ke fitrah di atas untuk memaknai syarat yang telah tersedia sebagai berkah.

Dan seperti apa kemenangan? Idulfitri yang kita rayakan 5 Juni kemarin? Tidak. Baik Ramadan dan hari raya adalah simulasi, mungkin hanya sebuah titik dari sebuah proses panjang.

Bisa jadi kita bisa menikmati sebagian kecil seperti halnya berbuka puasa, namun kita harus berjuang lagi saat imsak menjelang. Ibaratnya sebuah pit stop dari ikhtiar panjang. Kemenangan yang sebenar-benarnya adalah perjuangan tanpa henti.

Kala bonus demografi itu dapat dijinakkan oleh para pemuda, untuk mengentaskan kemiskinan, pengangguran, konflik identitas, terjaminnya kesehatan reproduksi, atau terciptanya ekosistem untuk perekonomian anak muda. Salah satunya lewat space of hope itu: masjid.

Idulfitri adalah sebuah proses tanpa henti, yang membutuhkan shaum atau menahanyang terus menerus. Idulfitri sama halnya kematangan usia seseorang, perlu kerikil dan jalan terjal yang mematangkan.

Hingga pusparagam ketakwaan para generasi milenial ini melebur. Seperti apa? Mari menjawabnya bersama-sama.