Ahmad Sauqi, penyair masyhur dari Mesir, bilang sesungguhnya kejayaan suatu umat (bangsa) terletak pada akhlaknya, selagi mereka berakhlak/berbudi perangai utama, jika pada mereka hilang akhlaknya, maka jatuhlah umat (bangsa) ini.

Syair ini dikirim salah seorang senior yang merespon tulisan saya sebelumnya tentang “Akhlak Pejabat Publik dan Keadaban Kita”. Tak hanya beliau, ternyata ratusan kontak saya yang lain juga merespon dengan ekspektasi yang sama.

Akhlak menjadi modal utama bangsa untuk “melompat maju” (meminjam istilah yang sering didengungkan oleh Presiden Jokowi). Tanpa akhlak, perencanaan tentang masa depan Indonesia sebaik apapun mustahil akan terwujud.

Seingat saya soal akhlak ini diajarkan sejak dini di semua sekolah formal kita, belum lagi di rumah sebagai ruang pertama kita peroleh pendidikan. Tak habis juga dikumandangkan di tempat-tempat pengajian dan pertemuan-pertemuan keagamaan.

Jadi disemua aspek kehidupan dalam lintas waktu yang sedemikian panjang, kisah akhlak ini cenderung tak habis dibicarakan. Tapi apakah itu banyak mengubah perilaku hingga menjadikan para pengucap dan pendengar tergerak untuk membumikannya? Yang nampak dari banyak kisah gegap gempita seruan tersebut adalah amsyong atau kosong.

Teranyar, kisah penangkapan anggota KPU oleh KPK. Dalam sebuah jejak digitalnya, beliau menyampaikan akan berupaya agar kasus korupsi sebelumnya tidak terulang kembali. Ujungnya, ambyar juga.

Integritas

Ditulisan sebelumnya saya mengutip hasil penelitian Scheherazade S Rehman dan Hossein Askari dari The George Washington University dengan judul “How Islamic are Islamic Country” yang dipublikasikan dalam Global Economy Journal (Berkeley Electronic Press, 2010), Indonesia berada diperingkat 140 dari 208 negara.

Merosotnya Indonesia sebagai negara penduduk Islam terbesar di dunia ini menegaskan bahwa praktik nilai-nilai keislaman kita tak jauh lebih baik dari negara-negara lain yang Islamnya hanya minoritas. Kuantitas memang bukan syarat untuk menjadi ideal, perlu dibarengi dengan kualitas.

Misi Rasulullah itu datang untuk membangun peradaban yang memiliki tiga pilar utama: keilmuan, ketakwaan, dan akhlak mulia atau integritas. Hal yang terakhir inilah, menurut penelitian Rehman dan Askari, dunia Islam mengalami krisis.

Yang menjadi pertanyaan dasar juga mungkin pertanyaan besar adalah seberapa jauh ajaran Islam dipahami dan memengaruhi perilaku masyarakat Muslim dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita? Ternyata dengan keilmuan dan ketakwaan saja belum cukup, perlu disempurnakan dengan akhlak mulia atau integritas tadi.

Di dalam hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan keshalihan akhlak”. Begitu pentingnya perkara ini sampai Tuhan meminta utusan-Nya untuk datang menyempurnakannya.

Pahlawan Milenial

Saya tentu tidak dalam kapasitas menasehati, karena kapasitas saya belum sampai kesana. Sekedar menulis agar mengingat kembali kalau tulisan tentang akhlak-akhlak ini pernah ada. Karena ada, saya tak mungkin rela menjadi munafik dengan mengingkari apa yang saya tulis.

Jika akhirnya ada yang juga membekas, setidaknya karena kita juga merasakan yang sama bahwa kondisi bangsa kita meski membaik tapi masih banyak kekurangan. Khususnya untuk mereka yang sedang peroleh tugas sebagai pejabat publik.

Hak pribadinya secara tak langsung telah dirampas oleh publik. Apapun yang menjadi perkataannya, semacam fatwa yang akan direkam dengan baik dalam memori publik lewat jejak digital dan jejak yang lain.

Begitupun perbuatannya akan senantiasa dijadikan sebagai pegangan oleh khalayak. Segala tindak tanduknya akan jadi pembenaran untuk setiap laku baik juga buruk. Kita banjir orang pintar, tapi kering keteladanan.

Saya membayangkan, 33,75 % milenial dan 29,23 % pasca milenial, lebih dari separuh dari total populasi Indonesia ini akan menjadikan pejabat publik ini sebagai pahlawan jika mampu memotong kekusutan perkara akhlak ini.

Jika tetap sama, tentu saja milenial ini tak juga bodoh-bodoh amat. Ia akan mencari contoh kepahlawanan ditempat lain, dan coba meneladaninya. Sambil saling mengingatkan kepada teman sebayanya, “mana akhlakmu?”.

Oh iya, saya menutup tulisan ini dengan respon satir dari tulisan sebelumnya oleh senior yang juga politisi. “Jangan2 ahlak para elite politik lebih parah dari ahlak para elite BUMN ?” Nah perkara ini bisa dijawab sendiri karena telah jadi rahasia umum.

Tabik