oleh: drg. Arief Rosyid

Video “Blak-blakan Kepala BKPM: Hantu Berdasi Hambat Investasi” ini mendadak viral. Bukan apa-apa, selama ini soal “hantu berdasi” seperti kentut yang bisa dicium tapi tak kelihatan.

Yang menarik karena ini terlontar dari seorang elit pejabat negara, yang sudah menyaksikan langsung ulah dari “hantu berdasi” tersebut dengan mata kepalanya. Tentu saja akan jauh berbeda jika orang seperti saya yang berbicara, akan dituduh ngigau disiang bolong.

Pilihan tersebut diambil bukan tanpa resiko, mengungkap hal-hal yang salah bin keliru selama ini dianggap sebuah kegilaan. Tak sedikit mereka yang berkata sebenar-benarnya dan berlaku sebaik-baiknya terlempar dari pusaran kekuasaan.

Belum lagi ancaman yang lain, misalnya aksi premanisme yang dilakukan oleh mereka yang berkongsi dengan “hantu berdasi” tersebut. Atau juga akrobat hukum yang seringkali digunakan untuk meluluhlantahkan aksi heroisme diatas.

Bisa dibayangkan belasan mungkin puluhan tahun sudah “hantu berdasi” ini berada di dalam zona nyaman, menikmati segala fasilitas yang dimiliki oleh negara. Tak terusik sedikitpun, karena mampu mengkondisikan segala sesuatu diluar dirinya.

Misalnya fasilitas untuk publik dan harus digunakan demi kemaslahatan orang banyak, lalu direbut untuk kepentingan keluarga dan golongan itu-itu saja. Membangun kerajaan “hantu berdasi”, dimana penikmatnya adalah mereka-mereka juga, membuat struktur sendiri sebagai raja, ratu, pangeran, dan kawan-kawannya.

Kemudian ada orang timur campuran Maluku, Sultra, hingga Papua bicara apa adanya terhadap kondisi yang ada. Membongkar ke publik soal ulah “hantu berdasi” yang telah ada sejak belasan hingga puluhan tahun.

Bisa saja dia memilih diam, atau yang lebih menguntungkan berkongsi menjadi bagian dari kerajaan “hantu berdasi”. Tentu dia akan memperoleh kemewahan dengan harta yang berlimpah-ruah. Tapi apakah itu yang diharapkan dari seorang yang hidupnya sejak lahir bergelimang kemiskinan?

Adalah Bahlil Lahadalia yang berani memekikkan kebenaran dari belantara kekuasaan yang baru dinikmatinya seumur jagung. Ibarat dalam sepakbola ia pemain muda berbakat, meski baru tapi tak butuh waktu lama untuk unjuk gigi.

Soft skill yang ia peroleh dari beragam jenjang organisasi yang dilaluinya di Masjid sebagai Pengurus Remaja Masjid, Ketua BEM di kampus, Bendahara Umum di PB HMI, Ketua Umum di BPP HIPMI, hingga di Partai Golkar, tak membuatnya sulit beradaptasi ditempat yang baru sebagai Kepala BKPM.

Pengalaman memang guru terbaik, jam terbang pada organisasi diataslah yang membuatnya kuat mengakar kebawah, sekaligus kokoh menjulang keatas. Sepuluh skill (complex problem solving, critical thinking, creativity, people management, coordinating with others, emotional intelligence, judgement and decision making, service orientation, negotiation, & cognitive flexibility) yang disebutkan World Economic Forum sebagai skill masa depan dimiliki Bahlil Lahadalia meski tak sekolah dikampus ternama.

Kucing-isme dan Singa-isme

Kemewahan dan kekuasaan yang selama ini banyak memabukkan orang-orang yang memiliki idealisme, tak berlaku bagi seorang Bahlil. Disinilah saya meletakkan judul di atas, beda kucing dan singa.

Tak sedikit aktivis yang masuk menjadi penguasa, tapi letoi dan hanya mengangguk terhadap sejumlah keburukan didepan matanya. Patut kita sematkan padanya sebagai pengikut paham kucing-isme.

Yang lain, dan ini tak banyak jumlahnya, aktivis yang masuk menjadi penguasa tapi mampu menpertahankan idealismenya. Mereka ini adalah penganut singa-isme, terus mengaum memperjuangkan nilai-nilai kebenaran dan kebaikan.

Tentu ini masih tesis sementara (setidaknya sampai hari ini), kita mesti terus berdoa agar seorang Bahlil bisa istiqomah di jalan sunyi (karena tak banyak jumlahnya) tersebut. Pembuktian demi pembuktian harus selalu dilakukan, sebagai ujian apakah dia bisa konsisten menyuarakan kebenaran dan melakukan kebaikan sebagaimana paham singa-isme diatas.

Saya termasuk orang yang banyak belajar dan mengikuti setiap langkahnya, baik di HMI, HIPMI, maupun disaat berjuang pada Pilpres yang lalu. Di TKN Milenial Jokowi-KMA, tak lama setelah dia ditunjuk sebagai direkturnya, saya dipanggil dan secara sepihak diangkatnya sebagai wakil direktur tanpa surat keputusan.

Sedikit banyak, selain memposisikan diri sebagai juniornya yang bisa dia perintah 24 jam, sebagai adiknya yang bisa merengek untuk sesuatu hal, sekaligus sebagai saudaranya yang akan saling mengingatkan dalam kebaikan.

Sebagai konsekuensinya, kadang-kadang kami harus mengatakan hal yang pahit sekalipun. Dengan seperti itulah kami saling menjaga dan terus saling memayungi.

Selamat berakhir pekan, jumat mubarak!