Arief Rosyid
(Ketum PB HMI 2013-2015, Co-Founder Rabu Hijrah)

Tak terasa setahun berganti ketika ikhtiar Rabu Hijrah kami gelar secara luring, berkumpul dari satu gedung ke gedung yang lain, hingga dari masjid ke masjid yang lain.

Selain itu, berpindah dari satu daerah ke daerah yang lain, berkeliling ke tujuh kota ditutup dengan kolaborasi kegiatan dengan 20 organisasi pemuda Islam dalam acara Muktamar Pemuda Islam, 4 April 2019. Saat pandemi, kami kembali hadir lewat daring.

Secara konsisten, kami mendengungkan komitmen umat Islam khususnya generasi muda untuk terlibat dalam arus besar kebangkitan ekonomi umat. Tema ini seringkali disampaikan oleh banyak tokoh umat Islam.

Bahkan, sejak 1905 oleh Haji Samanhudi dan kawan-kawan mendirikan Sarekat Dagang Islam (SDI). Panjangnya rentang sejarah tersebut dan berbagai kemajuan yang telah dialami Indonesia, membuat kita harus banyak bersyukur.

Tentu dengan tak boleh merasa cukup untuk berbuat dan berkontribusi demi Indonesia. Apalagi, yang nampak dari data BPS, meski dari tahun ke tahun membaik, masih terdapat ketimpangan (yang diukur berdasarkan Rasio Gini, berkisar 0,380).

Fakta ini menunjukkan tugas generasi muda Indonesia, khususnya generasi muda Islam tak boleh berhenti. Harus terus dibangun kesadaran untuk menghilangkan kesenjangan tersebut.

Dari data BPS, jumlah generasi muda Indonesia sekitar 62,98 persen (usia milenial berkisar 33,75 persen dan usia sentenial berkisar 29,23bpersen), sekitar 80 persen dari jumlah total generasi muda Indonesia itu adalah generasi muda Islam.

Fitrah sebagai generasi muda adalah penggerak perubahan, pendobrak kebuntuan, dan hal progresif lainnya. Di sinilah pentingnya mereka dihadirkan untuk terlibat penuh dalam setiap agenda kemajuan dan kebangkitan ekonomi umat.

Tentu banyak yang sudah terlibat, tapi tak sedikit yang masih tertinggal dibelakang. Rabu Hijrah sebagai ikhtiar untuk menjembatani kesenjangan antar generasi muda Islam ini harus terus dirawat dan disemai menjadi kekuatan.

Indonesia sebagai negara berpenduduk mayoritas Muslim, sudah sewajarnya mengambil peran yang signifikan dalam mendorong kebangkitan ekonomi umat, mesin penggerak utamanya adalah generasi muda Islam.

Kekuatan yang sebesar inilah yang tak dimiliki banyak negara lain di dunia. Secara total populasi Muslim di dunia, Indonesia memiliki sekitar 12,50% dari total populasi tersebut. Artinya, satu dari sepuluh Muslim di dunia adalah orang Indonesia.

Belum lagi berdasarkan data The Future of World Religion & PEW Research Center, proyeksi populasi muslim ditahun 2050 mencapai 29,7%, satu dari tiga orang di dunia adalah Muslim.

Besarnya potensi ini telah dilihat serius oleh pemerintah dalam hal ini Presiden Jokowi, setelah sebelumnya diperiode pertama menggandeng Wakil Presiden HM Jusuf Kalla yang juga sebagai Ketua Umum Dewan Masjid Indonesia.

Pada periode kedua, Jokowi menggandeng Wakil Presiden KH. Ma’ruf Amin sekaligus sebagai Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia. Tak cukup sampai disitu, sejak 10 Februari 2020, keseriusan Presiden Jokowi mendorong kebangkitan ekonomi umat ditunjukkan dengan mentransformasi Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) menjadi Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS).

KNKS dibentuk sejak periode pertama Presiden Jokowi melalui Peraturan Presiden (Perpres) No. 91 tahun 2016 tentang KNKS, yang kemudian perubahannya melalui Perpres No. 28 tahun 2020 tentang KNEKS.

KNEKS yang dipimpin langsung oleh Presiden Jokowi sebagai ketua dan posisi Wakil Presiden KH. Ma’ruf Amin sebagai wakil ketua sekaligus sebagai ketua harian memiliki dampak kebijakan yang luar biasa. KNEKS tak hanya berperan mempercepat, memperluas, dan memajukan keuangan syariah, lebih besar dari itu pada pengembangan ekonomi syariah dalam rangka memperkuat ketahanan ekonomi nasional.

Secara terang, keberpihakan Presiden Jokowi terhadap kebijakan kebangkitan ekonomi umat tampak dengan meningkatnya secara signifikan peringkat Indonesia dalam Global Islamic Economy Report, dari peringkat ke-10 (2018) melompat menjadi peringkat ke-5 (2019).

Membangun ekosistem kebijakan yang memiliki keberpihakan ini terbukti sangat berpengaruh terhadap percepatan kebangkitan ekonomi umat. Selain itu, tentu saja dibutuhkan kesadaran yang tinggi dari umat.

Kesadaran dari umat atau melalui organisasi kemasyarakatan dan keagamaan, dibutuhkan agar ekosistem kebijakan yang dibangun pemerintah bertautan. Sebaliknya jika tidak, seperti ungkapan pepatah “Bagai cinta bertepuk sebelah tangan”.

Berdasarkan hasil Survey Nasional Literasi Keuangan (SNLK) 2019, meski indeks literasi keuangan syariah meningkat dari 8,1 persen (2016) menjadi 8,9 persen (2019), indeks inklusi keuangan syariah turun dari 11,1 persen (2016) menjadi 9,1 persen (2019).

Secara sederhana kita belum menemukan upaya maksimal dari umat untuk mengimbangi kecepatan kebijakan pemerintah. Padahal, bertemunya keberpihakan pemerintah dan partisipasi aktif umat akan menjadi kekuatan.

Republika, 9 Mei 2020.