“Lamun sira sekti, ojo mateni. Lamun sira banter, ojo ndisiki. Lamun sira pakar, ojo minteri”. Tiga kalimat filosofi Jawa sebagai pengingat kita untuk terus mawas diri. Artinya, “Meski kamu sakti, jangan suka menjatuhkan. Meski kamu cepat, jangan suka mendahului. Meski kamu pintar, jangan suka sok pintar.”

‘Lamun sira’ pernah begitu populer di tanah air pada 2019 lalu. Kala itu, Presiden Jokowi mengunggah pesan tersebut di berbagai kanal sosial media miliknya. Unggahan tersebut berdekatan dengan momentum menangnya Jokowi-Maruf yang pada periode lalu mengubur kontestan lainnya, Prabowo-Sandi. 

Wisdom yang populer di ranah Jawa itu rasanya masih sangat relevan dengan kondisi kekinian, dan juga tetap kontekstual untuk anak-anak bangsa. Rangkaian kalimat tersebut terpajang apik pada media kayu tanpa bingkai, di sebuah kedai kopi di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat. 

Prinsip ‘lamun sira’ tadi mungkin juga kita terapkan tanpa sadar, khususnya dalam tataran berorganisasi. Di organisasi, kita dididik untuk saling toleran, gotong royong, namun tetap menghargai senior. Untuk versi bahasa Indonesia ‘Di atas langit masih ada langit’, begitu mungkin padanan filosofi ‘lamun sira’. 

Saya bersyukur, dapat kembali diingatkan filosofi tersebut, dan banyak pula mendapat arahan dan panduan dari mentor maupun banyak teman diskusi. Niscaya, dengan ‘lamun sira’, kita menjadi pribadi yang mawas diri, dan terus mau ditempa menuju perjalanan panjang Indonesia Emas 2045.