Arief Rosyid Hasan
Ketua Umum PB-HMI 2013 – 2015
Founder Merial Institute
Pernyataan Presiden Prabowo Subianto dalam pidatonya pada HUT Golkar ke-60 yang mengusulkan pencarian format baru dalam penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) mengundang perhatian publik. Usulan ini didasari oleh keprihatinan terhadap tingginya biaya penyelenggaraan Pilkada yang membebani anggaran negara. Gagasan tersebut bukan hanya relevan, tetapi juga mendesak untuk diwujudkan dalam upaya menciptakan proses demokrasi yang efisien, efektif, dan tetap menjunjung prinsip-prinsip keterwakilan rakyat.
Sejak diberlakukannya Pilkada langsung pada Juni 2005, Indonesia telah merasakan berbagai manfaat, seperti memperkuat legitimasi kepala daerah di mata rakyat. Namun, tidak dapat dimungkiri bahwa format ini juga menimbulkan tantangan besar, salah satunya adalah pembengkakan biaya yang terus meningkat di setiap perhelatannya. Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri, anggaran untuk Pilkada serentak pada tahun 2024 mencapai lebih dari Rp40 triliun. Angka ini meliputi pengadaan logistik, honor petugas, dan kebutuhan lainnya yang tentu akan semakin meningkat seiring bertambahnya jumlah pemilih dan wilayah pelaksanaan di tahun berikutnya.
Di tengah berlangsungnya Pilkada, tingginya biaya kampanye menjadi salah satu tantangan besar bagi para calon kepala daerah. Beban finansial yang tinggi sering kali memaksa kandidat mengeluarkan dana pribadi dalam jumlah besar atau bergantung pada dukungan pihak sponsor. Ketergantungan ini tidaklah tanpa konsekuensi. Sponsor umumnya mengharapkan imbal balik dalam bentuk kebijakan atau proyek tertentu setelah kandidat terpilih, yang pada akhirnya membuka peluang terjadinya praktik korupsi. Kondisi ini mengancam integritas pemimpin daerah dan berpotensi mengabaikan kepentingan masyarakat demi memenuhi komitmen kepada sponsor.
Lebih jauh, fenomena ini juga membuka ruang bagi praktik politik uang yang merusak demokrasi. Alih-alih memperkuat kesadaran politik masyarakat, politik uang justru menggerus nilai-nilai demokrasi dengan menjadikan suara rakyat sebagai komoditas yang diperjualbelikan. Ketika masyarakat memilih berdasarkan iming-iming materi, bukan karena kualitas dan visi kandidat, keputusan yang diambil sering kali tidak mencerminkan aspirasi rakyat. Proses demokrasi yang seharusnya menjadi ajang untuk menciptakan pemimpin yang kompeten malah terdegradasi menjadi arena transaksional yang memperburuk kualitas kepemimpinan.
Ironisnya, dampak buruk ini tidak hanya dirasakan oleh masyarakat, tetapi juga oleh sistem demokrasi secara keseluruhan. Politik uang menciptakan lingkaran setan yang sulit diputus, di mana pemimpin yang terpilih berisiko kehilangan independensinya dan terjebak dalam kepentingan pragmatis pihak tertentu. Dalam jangka panjang, praktik semacam ini tidak hanya merusak kepercayaan publik terhadap proses demokrasi, tetapi juga menghambat pembangunan daerah yang seharusnya bertumpu pada prinsip transparansi, akuntabilitas, dan keberpihakan kepada rakyat.
Mengapa Format Baru Diperlukan?
Presiden Prabowo menekankan bahwa demokrasi tidak seharusnya menjadi ajang pemborosan sumber daya. Sebaliknya, demokrasi harus mampu menciptakan tata kelola pemerintahan yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Dalam konteks ini, mencari format baru yang lebih hemat anggaran menjadi kebutuhan mendesak.
Pencarian format baru juga penting untuk mengurangi beban masyarakat. Di berbagai daerah, pemilihan langsung sering kali memicu polarisasi sosial. Ketegangan antar pendukung paslon bisa berlangsung lama, bahkan setelah Pilkada selesai. Jika ada alternatif format yang tetap demokratis namun mampu mengurangi friksi ini, mengapa tidak dicoba?
Ada beberapa gagasan yang dapat dipertimbangkan sebagai format baru Pilkada. Pertama, Pilkada Tidak Langsung melalui DPRD. Format ini yang sementara diusulkan oleh Presiden Prabowo dan memang pernah diterapkan di Indonesia sebelum 2005. Kepala daerah dipilih oleh anggota DPRD yang mewakili rakyat. Dengan format ini, biaya penyelenggaraan bisa ditekan secara signifikan karena tidak perlu menggelar pemungutan suara di tingkat masyarakat. Meski demikian, format ini perlu dikawal ketat agar tidak membuka ruang untuk politik transaksional di kalangan anggota DPRD.
Kemudian Pemilihan Berbasis E-Voting juga perlu dilirik sebagai alternatif. Teknologi e-voting dapat menjadi solusi jangka panjang untuk menghemat anggaran Pilkada. Dengan e-voting, biaya pencetakan surat suara, distribusi logistik, dan penghitungan suara manual dapat dieliminasi. Meski investasi awal untuk membangun infrastruktur e-voting cukup besar, sistem ini akan sangat efisien jika digunakan secara konsisten dalam jangka panjang.
Atau bahkan penggabungan dari metode-metode ini juga dapat diterapkan. Misalnya, pemilihan Gubernur dilakukan oleh DPRD dan Bupati/Walikota tetap dipilih secara langsung atau melalui e-voting oleh masayarakat. Tentu segala kemungkinan dapat dipikirkan dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Namun pada akhirnya semua dikembalikan kepada pemerintah dan partai politik dalam merumuskan format Pilkada seperti apa yang dianggap paling efisien secara anggaran, tetapi tidak mematikan peran rakyat sebagai golongan yang paling merasakan efek demokrasi di Indonesia.
Tentu saja, setiap perubahan memiliki tantangan. Dalam hal ini, kritik utama terhadap format baru adalah potensi berkurangnya partisipasi rakyat secara langsung. Misalnya, kembali ke format Pilkada melalui DPRD dianggap mengurangi hak suara individu. Oleh karena itu, jika salah satu dari format ini diterapkan, perlu ada mekanisme transparansi yang kuat agar masyarakat tetap merasa terwakili.
Di sisi lain, penerapan teknologi seperti e-voting membutuhkan kesiapan infrastruktur yang merata, terutama di daerah terpencil. Pemerintah perlu memastikan akses internet yang stabil dan edukasi kepada masyarakat mengenai cara menggunakan teknologi ini.
Namun, usulan Presiden Prabowo sangat sejalan dengan semangat reformasi demokrasi yang terus berkembang. Reformasi bukan berarti mengurangi kualitas demokrasi, melainkan menyesuaikan mekanisme agar lebih relevan dengan tantangan zaman. Hemat anggaran bukan berarti mengorbankan nilai-nilai demokrasi, tetapi justru menempatkan efisiensi sebagai bagian dari tanggung jawab bersama.
Lebih dari itu, reformasi Pilkada juga bisa menjadi pintu masuk untuk memperkuat akuntabilitas kepala daerah. Dengan sistem yang lebih efisien, kepala daerah dapat lebih fokus pada tugas utama mereka: membangun daerah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Mencari format baru Pilkada adalah langkah visioner untuk mewujudkan demokrasi yang lebih sehat, efisien, dan inklusif. Usulan ini tidak hanya relevan dalam konteks penghematan anggaran, tetapi juga sebagai upaya untuk meminimalkan dampak negatif dari proses politik yang mahal dan sering kali membebani rakyat. Dengan komitmen bersama, baik dari pemerintah, DPR, maupun masyarakat, reformasi Pilkada ini dapat menjadi tonggak baru dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Presiden Prabowo telah membuka diskursus yang penting. Sekarang saatnya semua pihak, termasuk akademisi, politisi, dan masyarakat sipil, turut serta dalam mencari solusi terbaik. Demokrasi sejatinya adalah alat untuk mencapai kesejahteraan rakyat, bukan malah jadi beban tambahan yang menguras sumber daya negara.