Arief Rosyid Hasan
Founder Merial Institute/ Ketua Umum PB HMI 2013-2015

Pertanyaan-pertanyaan terkait menemukan kembali identitas Indonesia menjadi pembuka dari tulisan Guru Besar Filologi Indonesia sekaligus Pengampu Ngariksa (Ngaji Manuskrip Kuno Nusantara) Oman Fathurahman atau yang lebih sering disapa Kang Oman di Media Indonesia pada 11/11/2024. Ia memandang dan menelisik jauh ke belakang untuk menemukan perspektif ke-Indonesiaan, tentu tanpa terjebak dan meromantisisasi masa lalu. “Mutiara yang hilang” adalah penggambaran yang dilakukan oleh Kang Oman untuk memberikan jawaban atas krisis identitas bangsa.

Perumpamaan “mutiara yang hilang” ini Kang Oman temukan setelah menelusuri dan menjelajah sudut negeri melalui pembacaan manuskrip kuno nusantara. Dari penjelajahan itulah ditemukan kekayaan literasi dan aksara nusantara (Jawi, Lontara Bugis-Makassar, Aksara Serang, Batak, Sunda, dll). Konten dari manuskrip kuno itupun tidak hanya berisi surat-surat, obat kuat, hingga cerita rakyat. Juga tentang ilmu-pengetahuan yang lebih luas seperti ilmu astronomi, matematika, tasawuf, pertanian, ilmu mitigasi dan lain-lain. Ia mengungkapkan bahwa Indonesia bukan hanya negeri yang kaya sumber daya alam, tapi sejak berabad tahun peradaban di nusantara telah bergerak lebih maju dari Eropa. Pertanyaannya mengapa peradaban maju itu seolah-olah hilang bahkan mengalami degradasi atau kemunduran?

Benedict Anderson, Profesor dari Cornell University yang sangat tertarik pada kajian Asia Tenggara khususnya Indonesia menyebutkan bahwa nasionalisme bangsa dibentuk dari imajinasi kolektif. Bayangan dan imajinasi kolektif itu dapat diperoleh dari eksisnya literasi. Apa yang dimaksud literasi di sini bukan sekadar dongeng atau cerita, namun literasi yang lebih besar dan mengikat jati diri bangsa.  India memiliki Mahabharata, dan Indonesia memiliki kitab kuno yang isinya dua kali lipat lebih panjang dari Mahabharata, yakni I Lagaligo– Kitab Bugis-Makassar (diperkirakan memiliki baris bait 300.000) yang membahas asal usul kehidupan manusia dan ilmu-pengetahuan lainnya yang sampai hari ini masih tersimpan di Belanda.

Menemukan kembali identitas bangsa seperti yang diungkapkan oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon mengambil peran dari semua bagian masyarakat untuk menghidupkan kembali kebudayaan dan “mutiara yang yang hilang” itu, termasuk dengan mengambil peran pemuda dalam pengarusutamaan kebudayaan. Pemuda hadir menjadi subjek yang dapat menjembatani dan mensinergikan kebudayaan dalam konteks yang baru dan kekinian. Ini penting dan cenderung krusial untuk dilaksanakan di era gempuran digitalisasi yang bisa semakin menjauhkan manusia dari akar sejarah dan asal-usulnya. Geliat pemuda untuk berperan aktif dalam pembangunan bangsa tidak bisa dibiarkan begitu saja. Perlu keseimbangan dan wadah yang pas untuk mentrasformasikan nilai-nilai kebudayaan dalam konteks kehidupan saat ini.

Mengingat Syekh Yusuf

Di Sulawesi Selatan, kita beruntung memiliki monumen kebudayaan dan manuskrip  yang walupun tidak semuanya dirawat, namun kesadaran untuk menggali potensi itu tetap ada. Saat ini, bersama teman-teman pemuda di Makassar, Sulawesi Selatan sedang mengupayakan hadirnya tempat yang dapat mengakomodir objek kebudayaan termasuk manuskrip. Tokoh pahlawan dan ulama lintas negara, Syekh Yusuf Al-Makassari diharapkan dapat menjadi simpul jaringan untuk silaturahim keluarga/komunitas Syekh Yusuf sedunia yang telah terbangun dari beberapa lokus.

Kelak kita memimpikan hadirnya tempat serupa Islamic Center yang dapat dijadikan ruang kolaborasi dan elaborasi beberapa hal, seperti pameran artefak fisik-akses pengetahuan- kebudayaan, tur historia, museum rihlah yang berisi manuskrip-manuskrip di Sulawesi Selatan. Tempat tersebut direncanakan berpusat di Gowa-Makassar dan terintegrasi dengan beberapa lokasi di Sulawesi Selatan yang bertujuan sebagai penyangga yaitu di Kampung Cikoang Takalar (tempat Syekh Yusuf belajar saat muda dulu), Somba Opu (lokasi salah satu makam Syekh Yusuf, hingga Jampue Pinrang (tempat ditemukan manuskrip Syekh Yusuf).

Rencana ini diharapkan tidak sekadar menjadi bangunan formal yang selesai setelah peresmian namun dapat menggaung dan menyasar audiens pemuda, milenial, dan Gen Z, bahkan Gen Alpha yang lahir di era digital untuk belajar dan mengenal kebudayaannya sendiri. Literasi digital yang membentuk manusia untuk serba instan tidak seharusnya menjadikan kita terlepas dari asal-usul. Justru kehadiran teknologi informasi yang dapat dijangkau oleh semua kalangan, dapat mempermudah manusia untuk menjejaki kehidupan dan jati diri bangsa serta leluhurnya. Sehingga Syekh Yusuf tidak hanya dikenal dari sebuah nama jalan, lapangan, hingga nama rumah sakit daerah.  

Ini hanyalah salah satu cara untuk merebut kembali “mutiara yang hilang” seperti yang dianalogikan oleh Kang Oman di awal pembahasan tadi. Keterlibatan bidang ilmu lain, utamanya sains, ekonomi, teknologi digital dan sosial sangat dibutuhkan.

Kehadiran Kementerian Kebudayaan tentu menjadikan kerja-kerja budaya lebih disiplin dalam menginventaris termasuk mengambil kembali objek budaya yang berada di negara lain untuk kembali ke tanah air. Pada 16 Desember, sebanyak 272 objek warisan budaya Indonesia dikembalikan Belanda yang dilakukan oleh Duta Besar Kerajaan Belanda untuk Republik Indonesia, Marc Gerritsen, dan Menteri Kebudayaan Fadli Zon di Museum Nasional Indonesia. Sejak 2023 hingga sekarang, Indonesia telah menerima sebanyak 828 objek warisan budaya dari Belanda melalui program repatriasi. Objek warisan budaya ini mencakup artefak penting seperti keris, tombak, perhiasan emas, dan kain tradisional. Artefak yang direpatriasi lainnya meliputi berbagai benda dari koleksi Puputan Badung dan arca-arca bersejarah dari Candi Singasari di Jawa Timur.

Menteri Budaya RI Fadli Zon juga mengungkapkan kelak Indonesia dapat menjadi ibu kota kebudayaan dunia. Indonesia memiliki potensi besar untuk mewujudkannya sebab kebudayaan di Indonesia tidak hanya banyak tapi beragam. Ada lebih dari 1300 kelompok etnis dan diperkirakan 700 bahasa daerah berbeda di setiap daerah di Indonesia masih terpelihara. Negeri ini juga memiliki warisan budaya yang telah diakui oleh UNESCO, dari Batik, Wayang, Rambu Solo’ hingga situs seperti Candi Prambanan dan Borobudur.  Kekayaan budaya tersebut terus terpelihara dengan kehadiran masyarakat lokal dan suku adat yang mewariskannya secara turun-temurun.

Tugas selanjutnya ialah bagaimana potensi budaya yang besar tersebut bisa hadir di tengah globalisasi dan modernisasi tanpa kehilangan kesakralannya? Saya kira peran pemuda untuk mengarusutamakan potensi budaya dibutuhkan sehingga dapat merangsang generasi muda mengenal budaya lokalnya. Beragam program dapat diupayakan, seperti melakukan digitalisasi manuskrip, festival, pameran, dan pariwisata. Menghadapi tantangan modernisasi utamanya teknologi digital membutuhkan peran pemuda untuk mengaktualisasikannya, tentu dengan dukungan politik dan kebijakan yang berpihak pada pelestarian budaya dan masyarakat.