drg. Arief Rosyid
(Ketua Umum PB HMI 2013-2015, Direktur Merial Institute)

Menyimak pidato kenegaraan Presiden Joko Widodo pada sidang bersama DPD RI dan DPR RI (16/8), menyiratkan guratan optimisme sekaligus nada kewaspadaan.

Presiden mengajak semua pihak untuk tetap optimis dalam menghadapi situasi geopolitik baru, globalisasi, dan revolusi industri 4.0 yang mendisrupsi segala sisi kehidupan secara cepat.

Namun Presiden juga mewanti-wanti agar segenap elemen bangsa bersedia melakukan cara-cara baru yang kreatif-inovatif. Presiden berjanji akan memimpin sendiri upaya ini, agar bangsa ini mampu melakukan lompatan kemajuan.

Apa yang menjadi modal bangsa Indonesia untuk melakukan lompatan tersebut? Presiden Jokowi tanpa ragu mengajukan kunci: SDM yang unggul. Kata kunci ‘SDM’ bahkan disebut hingga 14 kali sepanjang pidato.

Walaupun upaya pembangunan SDM bukan hal yang baru disampaikan, tetapi penegasan kali ini menunjukkan keseriusan Presiden dalam menyiapkan segenap perangkat pemerintahan dan upaya yang lebih menyeluruh untuk mencapai keunggulan SDM bangsa.

Prioritas ini tepat dipilih, karena periode kedua kepemimpinan Presiden Jokowi beriringan dengan tahapan puncak bonus demografi. Sebagaimana diketahui, tahapan awal bonus demografi bermula sejak 2012, memasuki tahapan puncak 2020-2024, dan akan mulai menurun di tahun 2030. Bonus demografi hanya akan terjadi sekali dalam siklus sebuah bangsa.

Dalam pidatonya, Presiden Jokowi yakin jika segenap elemen bangsa lebih fokus mengembangkan kualitas SDM dan menggunakan cara-cara baru, maka tahapan bonus demografi ini dapat dipetik menjadi bonus lompatan kemajuan.

Bonus atau Bencana?

Apa yang disampaikan presiden adalah ajakan sekaligus warning. Upaya untuk melakukan lompatan perlu dimulai dengan usaha yang ekstra untuk memperbarui kebiasaan (habitus) yang selama ini ada dalam birokrasi pemerintah dan masyarakat.

Para pakar mengungkapkan, bonus demografi akan berbuah ‘bonus’ dengan empat prasyarat yang harus dipenuhi: SDM yang sehat dan berkualitas, angkatan kerja yang terserap baik di pasar kerja, tabungan rumah tangga dan meningkatnya porsi perempuan dalam pasar kerja.

Keempat syarat tadi bisa terpenuhi apabila pemerintah melalui koordinasi lintas sektor berupaya membuat kebijakan yang kreatif-inovatif, terutama di sektor pendidikan dan kesehatan. 

Tak hanya itu, pemerintah juga harus membuat kebijakan tentang penyerapan tenaga kerja dan peningkatan tabungan. Selain itu, pemerintah perlu pula melakukan berbagai upaya terkait pemberdayaan perempuan dan pengarusutamaan gender.

Namun sejak awal tahapannya di tahun 2012, berbagai intervensi lintas sektor ini belum menunjukkan kemajuan. Gejala yang tampak malah menunjukkan warning yang serius, terutama pada kelompok yang diharapkan menjadi tulang punggung bonus demografi: generasi milenial usia 19-39 tahun.

Kita dapat melihat data di sektor pendidikan dan tenaga kerja. Angka rata-rata lama sekolah generasi milenial masih berkisar di 10,04 tahun. Capaian penyelesaian pendidikan hingga perguruan tinggi juga hanya sebesar 9,79 %.

Perbedaaan antara wilayah perkotaan dan perdesaan juga masih sangat tinggi. Lulusan perguruan tinggi daerah perkotaan mencapai 13,19 % sementara di pedesaan hanya 5,63 %. Begitu pula dengan capaian rata-rata lama sekolah.

Di sektor tenaga kerja, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) milenial sebesar 67,24%, artinya sekitar 7 dari 10 milenial sudah memasuki pasar kerja. Sementara sisanya kemungkinan masih berada pada usia/fase sekolah atau mengurus rumah tangga.

Kondisi ini ditunjukkan dengan TPAK, milenial berusia 16-24 tahun sebesar 55,25%, sementara milenial usia 25-37 tahun sebesar 75,29%. Artinya separuh penduduk milenial usia sekolah (16-24 tahun) belum masuk ke pasar kerja.

Pertanyaannya yang juga muncul, apakah semua pasokan tenaga kerja yang tersedia telah terserap efektif dan produktif di pasar kerja?

Salah satu indikator pemanfaatan supply tenaga kerja adalah Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT). Tahun 2017 TPT millennial Indonesia sebesar 9,84%, artinya sekitar 1 dari 10 angkatan kerja milenial adalah pengangguran.

Indikator lainnya adalah kualitas pekerjaan dari angkatan kerja yang telah terserap di dunia kerja. Generasi milenial terbanyak bekerja sebagai tenaga usaha jasa dan tenaga penjualan (24,61 %) dan pekerja kasar (19,68%). Artinya dari 100 millennial bekerja 24 orang bekerja sebagai tenaga usaha jasa dan penjualan dan 20 orang sebagai pekerja kasar.

Sementara jika dirinci menurut jenis kelamin pekerja milenial laki-laki terbanyak terserap sebagai tenaga kerja kasar (23,60%) dan pekerja milenial perempuan terbanyak terserap sebagai tenaga usaha jasa dan penjualan (32,78%).

Sedangkan milenial yang terserap sebagai pekerja professional, kepemimpinan, asisten professional, dan ketatausahaan hanya sebesar 19,45%. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa penyerapan pekerja milenial belum termanfaatkan secara optimal.

Meskipun telah menunjukkan perbaikan, data-data yang tergambar di atas dapat menjadi early warning agar harapan terjadinya bonus demografi tidak berubah menjadi bencana demografi.

Menjalankan Komitmen Presiden

Tantangannya pembangunan SDM berbeda dengan membangun infrastruktur fisik. Membangun manusia memerlukan wawasan yang utuh, pilihan kebijakan tepat, eksekusi program kreatif-inovatif, dan berkesinambungan.

Sejak tahun 2013, penulis terus terlibat dalam perumusan kebijakan bonus demografi dan pembangunan kepemudaan. Pengalaman ini menunjukkan, jika komitmen sudah kuat, maka banyak jalan bisa dilakukan.

Di antaranya tiga jalan itu yang dibangun itu adalah, mendorong kebijakan pembangunan SDM yang terencana dan terukur pencapaiannya. Jalan kedua dari tengah melalui awareness media dan publik. Jalan ketiga secara mandiri membangun dari bawah dengan kolaborasi lintas kelompok pemuda.

Jalan pertama misalnya saat peringatan 17 tahun Reformasi pada 19 Mei 2015. Kami bersama teman-teman organisasi mahasiswa lain berkesempatan bertemu Presiden Jokowi. Kesempatan ini kami menitipkan kepada Presiden untuk segera mengeluarkan kebijakan terkait dengan pengarusutamaan pemuda sebagai tulang punggung bonus demografi. 

Kami bersyukur dua tahun setelahnya, Presiden Jokowi menetapkan Perpres 66 tahun 2017 tentang Koordinasi Strategis Lintas Sektor Penyelenggaraan Pelayanan Kepemudaan. Perpres ini merupakan terobosan penting dalam memperbaiki kebijakan pembangunan pemuda.

Perpres 66/2017 menjadi payung 34 kementerian/lembaga untuk mengkoordinasikan Rencana Aksi Nasional (RAN) pelayanan pemuda. Program-program pembangunan pemuda yang selama ini tumpang-tindih dilakukan oleh berbagai lembaga pemerintah, perlahan dapat diurai melalui koordinasi dan sinkronisasi lintas sektor.

RAN kepemudaan ditopang dengan tersedianya Indeks Pembangunan Pemuda (IPP) sebagai acuan pembangunan pemuda dari pusat hingga ke daerah-daerah. Hasil kerjasama BAPPENAS, Kemenpora dan berbagai lembaga lain berhasil menyusun IPP pertama di tahun 2018.

Sebagai dokumen kebijakan, RAN Kepemudaan maupun IPP menjadi panduan berbagai lembaga pemerintah untuk memperbaiki kualitas pelayanan kepemudaan. Tentu di masa berikutnya, perlu ada percepatan dan efisiensi pelaksanaan Perpres 66/2017, sesuai komitmen Presiden Jokowi.

Tahapan bonus demografi 2020-2024 akan sangat bergantung kepada implementasi lintas sektor pemerintahan untuk melaksanakan secara penuh komitmen Presiden Jokowi. Pengalaman lima tahun terakhir ini menunjukkan, komitmen Presiden belum berjalan efektif di bawah, karena ego sektoral dan kualitas kelembagaan yang menjadi penyelenggaranya.

Selain itu, partisipasi kelompok milenial tidak hanya ditempatkan sebagai penerima manfaat dalam pembangunan, namun aktif sebagai pengendali dan terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Kolaborasi lintas kelompok milenial tetap memiliki kontribusi penting.

Seperti sering disampaikan oleh Presiden Jokowi, kita harus berubah. Cara-cara lama pengelolaan lembaga yang tidak kompetitif tidak bisa diteruskan. Strategi baru perlu diciptakan. Cara-cara baru harus dilakukan. Dengan jalan inilah, barangkali, komitmen pembangunan SDM yang digaungkan Presiden Jokowi dapat terlaksana.