Juli 2020, ketika ditugaskan menggerakkan berbagai elemen pemuda sebagai relawan Covid 19 oleh Kepala BNPB Doni Monardo, awal persentuhan penulis dengan teman-teman bonek atau suporter Persebaya. Disana saya menyaksikan bagaimana peran besar suporter sepakbola dalam menyelesaikan berbagai persoalan bangsa, saya membatin bahwa perlu ada ikhtiar agar mereka terus diberdayakan.
Pengalaman tersebut membawa pada keyakinan, sepakbola bisa menjadi sebab Indonesia berjaya. Untuk itu, melihat suporter adalah melihat spirit dan masa depan sepakbola Indonesia. Pemain ke-12, julukan untuk suporter, dapat menjadi pintu masuk pembenahan total sepakbola Indonesia. Ketua Umum PSSI, Erick Thohir selalu menggaungkan pembinaan suporter sebagai salah satu prioritas dalam menata sepakbola kita. Harapannya, momentum ini dapat menjadi oase dari duka yang terjadi tahun lalu.
Penulis menyaksikan langsung dari akar rumput, bagaimana harapan versus kenyataan yang dihadapi para suporter. Yang pasti, ada satu gagasan yang dapat menjadi hipotesis, yakni prestasi sepakbola sangat didukung oleh literasi para suporter. Kecintaan suporter terhadap klub tidak sekadar ekspresi saat pertandingan, tetapi juga telah menjadi budaya yang telah mengakar hingga diterapkan pada lingkungan keluarga. Oleh karenanya, nilai-nilai suporter yang menjunjung tinggi sportivitas dan nasionalisme perlu dipelihara dan ditumbuh-suburkan.
Saat gelaran pertandingan yang melibatkan Timnas, misalnya, berada di dalam stadion dan mendengar Indonesia Raya berkumandang, adalah pengalaman batin yang membuat kita merinding. Sontak, kita merasa ada spirit kesatuan dan tiap detik adalah dukungan untuk para pemain di lapangan. Inilah antara lain bukti bahwa berada di deretan suporter di stadion dapat menggugah rasa nasionalisme.
Sementara, di tribun yang berbeda, kita melihat kerumunan membelah, memberi kesempatan untuk keluarga dengan anak kecil, untuk dapat masuk dan duduk di kursi yang tersedia. Memberi pengalaman nyata bagi sang anak, bahwa sportivitas juga dapat terasa di pinggir
lapangan, apapun nanti hasil akhir pertandingan. Secara tidak langsung, para orang tua dan anak yang berada di barisan penonton telah mengajarkan anaknya tentang makna hidup yang terus berubah, berputar, dan saling berganti. Kadang kita mendapat poin, kadang kita harus kehilangannya. Dan dalam pertandingan itu adalah hal biasa.
Pada tahun lalu, kita sempat menyeka air mata karena duka akibat tragedi Stadion Kanjuruhan, Malang. Kita semua berharap peristiwa itu menjadi yang terakhir, dan jadi sebaik-baiknya pembelajaran. Dengan serpihan semangat kecintaan suporter pada sepakbola, melalui literasi dan narasi demi olahraga yang paling disenangi masyarakat Indonesia, kita perlahan mewujudkan sepakbola untuk kembali berprestasi dan membanggakan nusa dan bangsa.
Belajar dari Dunia Luar
Tindakan di luar batas yang dilakukan tidak dibenarkan secara hukum dan norma. Namun, faktanya, negara-negara yang lebih dulu menikmati kejayaan di bidang sepakbola, juga mengalami masalah serupa. Misalnya, huru-hara di Stadion Heysel, Belgia pada final Liga Champions 1984-1985. Kala itu, laga final mempertemukan jagoan Inggris Liverpool, dan jagoan Italia, Juventus. Adrenalin tinggi membuat suporter bentrok yang berujung pada 600- an orang luka-luka dan 39 meninggal dunia. Akibat peristiwa ini, sanksi yang tegas diterapkan, yakni hukuman lima tahun tidak boleh bertanding di kompetisi Eropa untuk seluruh klub Inggris, dan tambahan satu tahun untuk tim Liverpool.
Hukuman keras tersebut nyatanya tidak menghapuskan fanatisme hooligans, sebutan untuk suporter Inggris, tetapi perlahan mengubah etos suporter di sana. Dengan banyak pembenahan lainnya dan kemajuan performa sepakbola, kita saksikan bersama, hari-hari ini, stadion-stadion di Liga Inggris tidak lagi memagari area antara lapangan hijau dengan kursi suporter. Pertandingan dapat disaksikan dengan aman, oleh anak-anak muda, warga senior, dan sebagainya.
Contoh lain pembelajaran terkait suporter bisa kita petik dari Italia. Kekompakan antara dua kelompok suporter di satu kota diistilahkan dengan Gemellaggio yang artinya “penyamaan”. Prinsip ini dijalankan di antaranya oleh Lazio dan Inter Milan, AC Milan dan Brescia, serta Genoa dan Napoli. Para pengamat sepak bola Italia bahkan menyebut, keakraban antara Lazio dan Inter Milan ini sangat terasa pada pertandingan penentu scudetto 2010. Meski Lazio dan
Inter sangat berambisi untuk scudetto, namun saat laga penentuan, suporter dari kedua pihak sangat guyub.
Mendongkrak Literasi Suporter
Memaknai dukungan untuk tim kesayangan, mungkin menjadi topik kunci untuk disosialisasikan kepada kelompok-kelompok suporter di seluruh Indonesia. Euforia dan semangat yang membara seringkali membuat kita lupa, esensi dari dukungan kita. Jangankan untuk tim, semangat yang menyulut konflik terbuka, juga bisa mencederai marwah bangsa.
Harus ada yang turun ke bawah! Kelompok-kelompok suporter membutuhkan teladan untuk menemukan makna dari dukungan. Dan hal ini erat kaitannya juga dengan sportivitas dan sikap fair play yang tecermin dari penyelenggara pertandingan, pengelola klub, bahkan dari pemerintah daerah dengan seperangkat infrastruktur dan kebijakannya untuk sepakbola.
Dalam Kongres Biasa PSSI 2023, PSSI terus mendorong supporter tidak hanya sebagai objek, tapi juga subjek dari sejarah kemajuan sepakbola di Indonesia. Keterlibatan supporter dalam kongres sebagai badan pemegang kewenangan tertinggi ini adalah tonggak sejarah, pegakuan bahwa supporter tidak lagi sekadar pelengkap, tapi akan membersamai ikhtiar perbaikan sepakbola oleh Ketum PSSI Erick Thohir.
Jadi, literasi suporter bukan berarti sosialisasi, ceramah, atau pelatihan semata. Tetapi juga keteladanan yang ditunjukkan oleh para stakeholder di atas. Suporter Indonesia sudah sangat cerdas dan memiliki hati nurani. Dalam pidato Kongres Biasa PSSI 2023, Erick Thohir mengungkapkan blue print, GARUDA MENDUNIA: Transformasi Menuju Era Kejayaan Sepakbola Indonesia.” Rasanya itu akan menjadi kenyataan, tentu dengan bersama-sama suporter menjemput kemajuan bangsa dan negara Indonesia.