Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBI NU) di Pesantren Al-Hamidiyah, Depok, Jawa Barat telah dibuka pada Sabtu, (3/6/2023). Sebagai salah satu yang ikut serta dalam persiapan acara ini, saya sempat menuangkan gagasan saya dan dimuat pada laman Opini di website NU Online.
Forum LPBINU dilaksanakan sebagai tindak lanjut arahan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (Ketum PB NU) KH. Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) dari kegiatan Religion Twenty (R20) yang diselenggarakan November lalu di Nusa Dua, Bali. Hal ini semakin menggarisbawahi keterlibatan Indonesia sebagai aktor utama dalam mengurai persoalan krisis lingkungan dan perubahan iklim di tingkat global.
Krisis lingkungan dan perubahan iklim menjadi isu utama dunia dalam kurun satu dekade terakhir. Hingga saat ini bumi terus-menerus memanas. Perjanjian Paris yang disetujui oleh 196 negara anggota PBB bersepakat memperlambat laju pemanasan global di bawah 1,5-2 derajat Celcius tak mampu terealisasikan. Dan nampaknya, kita belum mencapai formula atau solusi dalam menghangatkan kembali bumi yang sedang demam berkepanjangan.
Cendekiawan Muslim almarhum Nurcholish Madjid (Cak Nur) pernah memunculkan sebuah konsep tentang ekologi dan keterkaitannya dengan spritualitas (Islam). Berpijak dari penegasan Al-Quran tentang “larangan berbuat kerusakan di bumi” (QS. 7: 56), Cak Nur menyebut konsep ekologi spiritual dengan “reformasi bumi.”
Tugas reformasi aktif manusia untuk menciptakan sesuatu yang baru, yang baik dan membawa kebaikan. Lebih dari yang pertama, pemanfaatan alam melalui teknologi harus dilakukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip keseimbangan, dilakukan secara berdaya, tidak merusak alam, dan yang terpenting manusia mampu menjaga kesadarannya untuk tidak serakah dalam memenuhi nafsu dan keinginannya. Sebagaimana dalam pandangan almarhum Prof KH Ali Yafie, menjaga bumi adalah zuhud.
Sikap spiritual yang merupakan nilai dasar tentang apa yang harus dituju dalam kehidupan dan bagaimana mengelola apa yang ada dalam alam ini untuk dapat dinikmati dan tidak menimbulkan kerusakan (QS. 28: 77). Ekologi spiritual sebagai fungsi memelihara bumi, kini kembali digaungkan dan diperkenalkan NU dengan istilah “merawat jagat”. Menurut Gus Yahya, tergambar dari simbol lambang NU terdapat dua dimensi tanggung jawab dalam merawat jagat.
LPBI NU sebagai lembaga yang secara struktural-organisatoris merupakan pelaksana kebijakan dan program NU di bidang penanggulangan bencana, perubahan iklim, dan pelestarian lingkungan telah berupaya mewujudkannya semaksimal mungkin. Secara konsisten telah ikut melakukan langkah-langkah strategis dan taktis, misalnya melakukan penanaman pohon, menjadi relawan bencana, mendukung pesantren-pesantren agar ramah lingkungan dengan program pesantren hijau, serta ikut berpartisipasi aktif mendorong kebijakan pemerintah.
Semoga gelaran Rakornas LPBI NU ini dapat mengemban amanah ekologi spiritual. Menguatkan kembali tugas penciptaan manusia sebagai wakil Tuhan di muka bumi (khalifah fil-ardh).
Baca selengkapnya Opini saya mengenai ekologi spiritual di link berikut ini.