Arief Rosyid Hasan
Ketua Umum PB-HMI 2013 – 2015
Founder Merial Institute
Pada 5 Februari 2025, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) genap berusia 78 tahun. Didirikan oleh Alm. Prof. Lafran Pane yang visioner di jamannya, HMI telah menjadi kawah candradimuka bagi kader-kader umat dan bangsa, melahirkan pemikir, pemimpin, dan cendekiawan yang tersebar di berbagai sektor kehidupan. Namun, di tengah arus zaman yang terus berubah, pertanyaan reflektif perlu kita ajukan: Masihkah kita ber-HMI?
Pertanyaan ini bukan sekadar tentang status keanggotaan atau keikutsertaan dalam aktivitas organisasi, tetapi tentang sejauh mana nilai dan tujuan HMI tetap hidup dan menubuh di dalam diri kita bahkan ketika sudah berstatus sebagai alumni. Sebagaimana tertuang dalam tujuan HMI, yaitu “Terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT”, HMI menetapkan lima kualitas insan cita sebagai kerangka besar pembentukan kadernya. Di usianya yang ke-78, sudah sejauh mana kita menginternalisasi dan mengaktualisasikan lima kualitas ini dalam kehidupan sehari-hari?
Sejak awal berdirinya, HMI telah menempatkan ilmu pengetahuan sebagai salah satu pilar utamanya. Kader HMI didorong untuk memiliki pola pikir kritis, analitis, serta berorientasi pada pengembangan ilmu pengetahuan untuk kemaslahatan umat dan bangsa. Setiap gerak keilmuan yang dihasilkan harus benar-benar menyentuh apa yang menjadi masalah di tengah masyarakat, sehingga persoalan dapat diselesaikan mulai dari hulu. Bukan sekadar meredakan gejala-gejala yang muncul di permukaan. Namun, hari ini kita menghadapi realitas yang menantang: dunia akademik sering kali terjebak dalam pragmatisme dan sekadar menjadi alat memperoleh gelar, bukan sebagai wahana pencarian kebenaran. Penting bagi kita untuk merefleksikan apakah kita masih menjunjung tinggi tradisi intelektual atau justru terjebak dalam mediokritas akademik. Apakah kita masih membaca, menulis, dan berdiskusi dengan serius? Atau bahkan mungkin kita tidak lagi membaca, dan menulis tetapi lebih sibuk membangun jejaring tanpa memperdalam substansi? Insan akademis bukan sekadar gelar, tetapi komitmen terhadap pencarian ilmu yang berkelanjutan.
Kualitas insan pencipta menuntut kader untuk tidak hanya menjadi pengikut tren, tetapi mampu melahirkan gagasan dan inovasi yang solutif terhadap persoalan bangsa. Namun, dalam praktiknya, kita kerap lebih reaktif daripada proaktif dan kreatif. Kita sering kali lebih nyaman mengulang narasi lama tanpa berani menawarkan paradigma baru. Padahal, insan pencipta harus berani keluar dari zona nyaman, melihat persoalan dengan cara berbeda, dan menghadirkan solusi yang kontekstual. Dengan berbagai tantangan di era digital, kader HMI seharusnya mampu menjadi lokomotif perubahan dengan menawarkan gagasan yang segar dan membumi, bukan hanya menjadi pengikut kubu Deepseek vs OpenAI.
HMI tidak pernah mengajarkan kadernya untuk hidup dalam menara gading intelektual tanpa kepedulian sosial. Sebaliknya, insan HMI haruslah insan pengabdi—mereka yang menggunakan ilmu dan gagasannya untuk kebermanfaatan yang lebih luas. Namun, semangat pengabdian ini terkadang terkikis oleh pragmatisme dan kepentingan pribadi. Banyak kader yang aktif dalam organisasi semata-mata demi membangun jejaring politik atau ekonomi, tanpa benar-benar memiliki panggilan jiwa untuk mengabdi. Di usia yang ke-78 ini, kita perlu bertanya kembali: Apakah kita masih memaknai pengabdian sebagai wujud dari nilai-nilai Islam yang rahmatan lil ‘alamin? Apakah kita hadir untuk membela kaum mustadh’afin atau justru sibuk mengamankan diri sendiri?
Sebagai organisasi Islam, HMI menempatkan Islam sebagai ruh perjuangannya. Islam dalam visi HMI bukan sekadar label atau identitas formal, tetapi harus menjadi nilai yang hidup dalam setiap aspek kehidupan kadernya. Namun, sering kali kita melihat adanya dikotomi antara Islam sebagai nilai dan Islam sebagai retorika. Sebagian kader bisa sangat fasih berbicara tentang nilai-nilai Islam, tetapi dalam praktik kehidupan sehari-hari, keislamannya tidak tercermin dalam sikap dan perilaku. Bahkan kadang, shalat pun tidak. Islam bukan sekadar simbol, tetapi harus menjadi sumber moral dan etika dalam hidup, berkarya, dan berinteraksi dengan masyarakat. Jika di usia ke-78 ini kita masih menjadikan Islam sebatas jargon tanpa aktualisasi, maka kita perlu kembali merenungkan arah gerak kita dalam HMI.
Tujuan akhir dari perjuangan HMI adalah terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT. Ini berarti bahwa setiap kader HMI harus memiliki visi besar tentang perubahan sosial dan keadilan. Tetapi, hari ini kita sering kali lebih sibuk dengan perdebatan internal daripada fokus pada agenda besar umat dan bangsa. Kita lebih sibuk dengan urusan dinamika politik internal, sementara problem sosial seperti ketimpangan ekonomi, krisis lingkungan, dan maraknya korupsi belum menjadi prioritas gerak kita. Apakah kita masih memiliki keberanian untuk bersuara lantang melawan ketidakadilan? Atau hanya diam sebagai beban, dan ketika bergerak malah jadi sumber masalah? Di usia 78 tahun ini, HMI tidak boleh kehilangan jati dirinya sebagai organisasi kader yang bertanggung jawab atas perubahan sosial.
Refleksi terhadap lima kualitas insan cita ini membawa kita pada kesimpulan bahwa menjadi kader HMI bukan sekadar soal pernah mengikuti Latihan Kader (LK), tetapi bagaimana kita terus membawa nilai-nilai HMI dalam kehidupan sehari-hari sepanjang hidup kita. Di usia 78 tahun ini, HMI bukan lagi hanya tentang sejarah, tetapi penentu arah masa depan. Kita semua memiliki tanggung jawab untuk menjaga, merawat, dan menghidupkan nilai-nilai HMI dalam berbagai lini kehidupan. Jika kita masih memegang teguh lima kualitas insan cita, maka jawabannya jelas: Ya, kita masih ber-HMI. Namun, jika tidak, mungkin saatnya kita bertanya pada diri sendiri: Apakah kita masih layak mengaku sebagai kader HMI?
HMI bukan hanya organisasi, tetapi cara berpikir dan cara hidup. Jika nilai-nilai ini masih menyala dalam diri kita, maka HMI akan tetap hidup, bukan hanya dalam sejarah, tetapi dalam gerak nyata kita untuk umat dan bangsa.