Arief Rosyid Hasan (Alumni YPL Golkar Institute, Ketum PB HMI 2013-2015)
Di acara Pembukaan Diklat Kader Muda Politik Teknokratik Partai Golkar, Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia kembali menegaskan bahwa Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) adalah bagian dari 97 organisasi pendiri Sekretariat Bersama Golongan Karya. Penegasan ini bukan sekadar romantisme, melainkan penempatan kembali sejarah sebagai fondasi penting. Golkar tidak bisa melesat ke depan tanpa menegakkan ingatannya terhadap akar dan pondasi lahirnya sebagai partai rakyat.
Sejarah mencatat, Sekber Golkar lahir pada 1964 sebagai jawaban atas krisis ketatanegaraan pasca-Dekrit Presiden 1959. Di dalamnya terdapat beragam organisasi fungsional: pemuda, pelajar, mahasiswa, profesional, dan tokoh masyarakat. HMI ikut menjadi motor penggerak yang menghidupkan energi kebangsaan tersebut. Kehadiran HMI bersama organisasi lain menunjukkan Golkar bukan hanya representasi politik, melainkan wadah kolektif bangsa untuk menjaga stabilitas dan konsensus nasional.
Dalam buku Ungkapan Sejarah Lahirnya Golongan Karya karya Imam Pratignyo, disebutkan bahwa keberadaan 97 organisasi itu membuktikan Golkar lahir dari rahim gotong royong. Tidak ada satu kelompok dominan, melainkan simbiosis dari berbagai elemen bangsa. Golkar menjadi wadah yang mampu mengakomodasi semua golongan, termasuk HMI yang sejak awal menjadi bagian penting perjalanan demokrasi Indonesia. Sejarah ini jarang disuarakan, padahal menjadi fondasi moral bagi generasi muda.
Bagi Bahlil Lahadalia, mengingat sejarah bukan sekadar romantisme, tetapi pijakan strategis. Ia sendiri adalah anak kandung HMI. Proses panjang di organisasi mahasiswa Islam terbesar itu, dari tingkat komisariat hingga Bendahara Umum PB HMI, telah menempanya menjadi politisi tangguh. Melalui tempaan itulah ia kini berdiri di puncak kepemimpinan Golkar. Bahlil adalah bukti konkret bagaimana proses di HMI melahirkan daya tahan politik yang luar biasa.
Sejarah HMI dan Komitmen Bangsa
Sejarah HMI sendiri bermula pada 5 Februari 1947 di Yogyakarta, ketika Lafran Pane bersama sejumlah mahasiswa mendirikan organisasi ini. Latar belakangnya sederhana tetapi visioner: bagaimana mahasiswa Islam mampu berperan dalam mempertahankan kemerdekaan sekaligus membangun peradaban bangsa. HMI lahir di tengah suasana perang kemerdekaan, menjadikannya bukan hanya organisasi mahasiswa, tetapi juga benteng moral perjuangan umat dan bangsa Indonesia.
Sejak awal, HMI menegaskan dua misinya yang terkenal: mempertahankan Negara Republik Indonesia dan menegakkan serta mengembangkan ajaran Islam. Dua misi ini adalah kompas yang menuntun generasi HMI dalam mengabdi. Tak heran, sepanjang sejarahnya, kader HMI selalu hadir dalam berbagai momentum besar bangsa: dari perjuangan mempertahankan kedaulatan, mengisi pembangunan, hingga mendorong demokratisasi pascareformasi 1998.
Komitmen HMI terhadap umat dan bangsa tidak pernah pudar. Organisasi ini konsisten melahirkan pemimpin di berbagai lini: politik, birokrasi, bisnis, bahkan gerakan sosial. Kader HMI menempatkan diri bukan hanya sebagai penonton, tetapi juga aktor perubahan. Jejaknya terlihat jelas: banyak alumni HMI menjadi tokoh bangsa yang mewarnai kebijakan nasional, sekaligus tetap mengakar dalam pengabdian di masyarakat dan umat.
Ikatan sejarah antara HMI dan Golkar berangkat dari kesamaan misi: menjaga keutuhan bangsa dan mengawal pembangunan. Ketika HMI menjadi salah satu pendiri Sekber Golkar, hal itu mempertegas bahwa peran mahasiswa Islam tidak berhenti di kampus, melainkan merambah panggung politik untuk memastikan stabilitas nasional. Komitmen inilah yang diwarisi hingga hari ini, bahwa politik sejati adalah jalan pengabdian, bukan sekadar perebutan kekuasaan.
Dalam buku biografinya Hari-Hari yang Panjang 1963–1966, Sulastomo—Ketua Umum PB HMI periode 1963–1966—dicatat sebagai Ketua Koordinator Pemuda Sekber Golkar pada 1964–1966. Fakta ini menegaskan posisi HMI bukan sekadar pelengkap, tetapi penggerak utama dalam Sekber Golkar. Sulastomo menjadi representasi nyata bagaimana kader HMI berperan langsung dalam arsitektur politik bangsa, memastikan Golkar menjadi wadah pemersatu di tengah turbulensi nasional kala itu.
Kini, ketika Bahlil Lahadalia mengingatkan kembali posisi HMI sebagai pendiri Sekber Golkar, sesungguhnya ia sedang mengikat dua benang sejarah: lahirnya HMI sebagai penjaga bangsa pada 1947 dan lahirnya Golkar sebagai wadah kolektif 97 organisasi pada 1964. Dua peristiwa itu adalah simpul penting yang menunjukkan kesinambungan komitmen: dari kampus ke politik, dari umat ke bangsa, dari sejarah ke masa depan.
Golkar di Tangan Bahlil
Dalam pidatonya di DPP Golkar, Jakarta (3 Oktober 2025), Bahlil berbicara lugas tentang perjalanan kariernya. “Kalah pun pernah. Dikepung oleh elite pun pernah. Jadi kalau elite mengepung saya, sudah biasa itu, bukan barang baru bagi saya,” ujarnya sambil tersenyum. Kalimat itu menunjukkan dirinya bukan pemimpin instan. Ia ditempa dari bawah, melalui perjuangan panjang, bahkan menghadapi kerasnya dinamika politik nasional.
Dengan gaya khasnya yang santai, ia melanjutkan, “Dalam bahasa kita orang timur, om suka itu, om suka.” Tawa hadirin pun pecah. Tetapi di balik candaan, tersimpan pesan mendalam: politik harus dijalani dengan ketabahan dan keikhlasan. Setiap ujian bukan untuk melemahkan, melainkan untuk menguatkan. Itulah esensi kepemimpinan yang ia warisi dari kultur HMI: menikmati proses dan menjadikan setiap pengalaman sebagai bekal perjuangan.
Pesan utama Bahlil kepada kader muda Golkar adalah tentang pentingnya menikmati proses politik. Menurutnya, kematangan dalam kepemimpinan tidak bisa dipetik secara instan. “Tidak ada lagi ini anak jenderal, anak konglomerat, anak menteri, anak anggota DPR. Enggak ada lagi,” tegasnya. Golkar, kata Bahlil, harus berdiri di atas meritokrasi, bukan privilese. Siapa pun bisa memimpin selama memiliki kapasitas, integritas, dan kesabaran menapaki proses panjang.
Pernyataan ini sekaligus menjadi kritik halus terhadap politik instan yang sering menghantui demokrasi kita. Banyak orang ingin langsung menjadi pemimpin tanpa melalui jalan panjang konsolidasi dan kaderisasi. Padahal, sejarah membuktikan, pemimpin besar selalu lahir dari tempaan berat. Dengan mengembalikan Golkar pada akarnya, Bahlil ingin mengingatkan bahwa partai ini adalah ruang meritokrasi, bukan arena bagi pewaris nama besar semata.
Dalam tulisan saya sebelumnya, saya menegaskan bahwa ada sejarah Golkar yang mulai “hilang” dari ingatan kolektif bangsa. Generasi kini cenderung hanya mengenal Golkar sebagai mesin politik, bukan sebagai rumah besar 97 organisasi fungsional. Di tangan Bahlil, sejarah itu kembali dihidupkan. Bukan untuk bernostalgia, tetapi untuk merancang masa depan. Mengingat sejarah menjadi kunci agar Golkar tetap relevan dalam arus besar politik nasional.
Golkar di bawah Bahlil mencoba menghidupkan kembali jati dirinya: partai rakyat yang lahir dari semangat kebersamaan. Ia menegaskan, Golkar harus kembali menjadi rumah besar bagi siapa pun, tanpa membedakan latar belakang. Di sinilah peran HMI sebagai pendiri Sekber kembali penting: mengingatkan bahwa Golkar lahir dari energi kolektif pemuda, mahasiswa, dan profesional yang rela berjuang demi Indonesia. Masa depan partai ada pada semangat ini.
Sejarah tidak hanya untuk dikenang, tetapi untuk dijadikan energi politik. HMI sebagai pendiri Sekber Golkar adalah fakta yang harus terus dihidupkan, terutama bagi kader muda. Dengan mengingat masa lalu, kita sedang menjemput masa depan. Golkar yang lahir dari 97 organisasi harus tetap menjadi partai meritokratis, tempat siapa pun bisa tumbuh melalui proses, bukan privilese. Inilah rumah yang menguji kapasitas, bukan sekadar keturunan.
Bahlil adalah cermin nyata dari pelajaran itu. Dari proses panjang di HMI hingga menjadi Ketum Golkar, ia menunjukkan bahwa politik bukan tentang jalan instan. Ia adalah pemimpin yang ditempa oleh sejarah, bukan diwarisi oleh garis keturunan. Dari HMI untuk Golkar, dari sejarah untuk masa depan, narasi ini harus dijaga agar Golkar terus menjadi benteng stabilitas dan rumah meritokrasi bangsa.