Sudah belasan tahun saya mengenal Bahlil Lahadalia. Dalam rentang panjang itu, saya menyaksikan langsung bagaimana narasi hitam-putih di media sering kali jauh dari gambaran seutuhnya. Berulang kali saya ingin menceritakan kebaikannya, namun sesering itu pula ia menolak dengan tegas. “Jangan, ini urusan kita dengan Tuhan,” katanya. Justru dalam konsistensi penolakannya itulah saya menemukan sebuah integritas yang langka di tengah gemerlap kekuasaan.

Saya menyaksikan sendiri bagaimana Bahlil berani mempertaruhkan nama dan jabatannya untuk memperjuangkan hak ormas seperti Muhammadiyah dan NU dalam mengelola sumber daya alam. Bagi yang tak mengenal dekat, ini mungkin terlihat sebagai manuver politik biasa. Namun bagi saya, ini adalah wujud keyakinannya yang mendalam bahwa para penjaga marwah bangsa layak merasakan kemakmuran dari bumi yang mereka jaga bersama.

Komitmennya pada pembangunan manusia terbukti dalam aksi nyata. Dengan diam-diam ia mendirikan pesantren bertaraf internasional di Lebak, Banten, dan dengan penuh kesabaran membina santri-santri asal Papua di Bekasi. Ia membantu menyiapkan masa depan yang lebih baik bagi mereka yang mungkin bernasib sama seperti masa kecilnya dulu. Semua mengalir tanpa sorotan kamera, persis seperti yang ia kehendaki.

Dalam perjalanan spiritualnya, penunjukkannya sebagai Ketua Dewan Pembina Pemuda Masjid Dunia menjadi pengakuan global. Peran ini bukanlah pencitraan, melainkan cerminan dari pribadi yang saya kenal: seorang yang bacaan Al-Qur’annya dalam shalat selalu khusyuk, pelan, dan menenangkan jiwa yang mendengarkan.

Namun, ada satu sisi yang paling mengharukan: kecintaannya yang mendalam pada ibunya. Saya pernah setengah bercanda mengatakan, “Abang ini cuma takut sama Tuhan dan Ibu.” Ia hanya tersenyum, sebuah pengakuan tanpa kata. Rasa hormat dan takut mengecewakan hati ibunya inilah yang saya yakini menjadi kompas moral paling dasar dalam hidupnya.

Sebuah Kompas yang Tak Pernah Bergeser

Setelah bertahun-tahun menyaksikan, saya memandang Bahlil bukan sekadar politisi kontroversial, melainkan sebagai seorang kakak, muslim yang khusyuk, dan anak yang taat. Kehebatannya justru terletak pada konsistensi “ketidakinginan untuk dipuji.” Di era dimana kebaikan sering dijadikan modal sosial, ia memilih jalan sunyi.

Kekuasaan baginya bukan panggung untuk pamer, melainkan amanah untuk bekerja dan berbuat nyata—sesuai perintah Tuhannya dan tanpa membuat ibunya berduka. Dalam diamnya, dalam penolakannya untuk dipublikasikan, justru di situlah ketulusannya bersinar paling terang. Dan saya bersyukur dapat membagikan secercah cahaya itu melalui kesaksian pribadi ini.