Menteri ESDM Bahlil Lahadalia sepertinya terlalu banyak dicurigai dan ditandai negatif. Padahal, kebijakan menyetop BBM impor dan menyerahkan ke BBM Pertamina dengan etanol adalah hal yang wajar. BBM impor disetop karena kuota sudah melebihi tambahan dari pemerintah. Kemudian, pada jangka panjang, kuota ini juga penting untuk menjaga neraca impor kita, sehingga kemandirian energi nasional bisa terus didorong.

Kemudian, ramai juga Bang Bahlil disoroti soal campuran etanol utk BBM Pertamina. Banyak ulasan soal bahaya campuran etanol untuk mesin dan seterusnya. Untung ada Presdir PT Toyota Manufacturing Indonesia (TMMIN), Bob Azam, yang mengeluarkan testimoni soal campuran etanol.

Menurut Bob, kebijakan ini tidak hanya mendukung upaya pengurangan emisi karbon dan ketergantungan impor energi, tetapi juga membuka peluang baru bagi sektor pertanian.

“Kalau petani tebu, singkong, jagung, dan sorgum bisa berkembang, itu bisa menjadi pilar kedua pertumbuhan ekonomi setelah sawit. Ada multiplier effect yang besar,” ujar Bob di Karawang, Jawa Barat.

Ia menambahkan, meningkatnya permintaan etanol akan mendorong kenaikan pendapatan petani sekaligus memperkuat rantai ekonomi lokal.

Bob juga menegaskan bahwa kendaraan Toyota sudah kompatibel dengan bahan bakar hingga E20, sehingga penerapan E10 aman bagi kendaraan modern di Indonesia. Kebijakan E10 yang disetujui Presiden Prabowo Subianto dinilai menjadi langkah strategis menuju kemandirian energi dan ekonomi hijau nasional.

Tak hanya bos Toyota, sebenarnya membolehkan campuran etanol pada BBM juga selaras dengan preferensi Gen-Z dan kaum muda lainnya. Berbagai riset telah membuktikan bahwa orang muda cenderung mendukung upaya-upaya sustainability.

Hikmah dari diskursus ini adalah, perlu kejernihan dalam melihat suatu persoalan. Kritis boleh, tapi jangan langsung memberi stigma. Semangat!