Arief Rosyid Hasan
Wakil Ketua Umum DPP AMPI
Beberapa waktu lalu, saya menulis tentang alasan mengapa angkatan muda perlu bergabung dengan AMPI/Golkar. Bukan semata karena simbol atau romantisme historis, tapi karena kita butuh ruang untuk berkarya dan memperkuat jalan kekaryaan yang berdampak bagi masa depan Indonesia. Tulisan itu lahir dari keyakinan saya bahwa organisasi politik, jika dikelola dengan semangat baru, bisa menjadi akselerator perubahan sosial.
Sebagai bagian dari angkatan muda yang tumbuh bersama idealisme reformasi, saya memahami mengapa banyak angkatan muda kerap merasa skeptis terhadap partai politik. Namun, saya juga percaya bahwa perubahan besar tidak selalu harus dimulai dari luar sistem. Kadang, perubahan paling radikal justru lahir dari dalam. Itulah yang saya rasakan ketika pertama kali bersentuhan dengan Partai Golkar, dan semakin yakin setelah menyaksikan perjalanan panjang partai ini melakukan transformasi dari waktu ke waktu.
Setelah Akbar Tandjung memperkenalkan Paradigma Baru Partai Golkar pada tahun 1998—yang dikenal sebagai Transformasi Jilid Satu—partai ini berusaha melepaskan diri dari citra Orde Baru dan membangun identitas baru sebagai partai demokratis. Transformasi ini terbukti jauh dari hanya sekadar retorika. Ia meletakkan fondasi penting bagi perubahan internal: menghapus institusi Dewan Pembina yang sebelumnya memegang kuasa mutlak, memperkenalkan mekanisme pengambilan keputusan yang bersifat bottom-up, hingga menstandarkan rekrutmen kepengurusan berbasis merit system—yakni dedikasi, prestasi, loyalitas, dan kecakapan.
Paradigma baru tersebut, sebagaimana tercatat dalam berbagai sumber, juga mendorong otonomi struktural dengan menghapus tiga jalur ABG (ABRI, Birokrasi, Golkar). Hal ini menjadikan DPD I dan DPD II lebih berdaya dalam forum pengambilan keputusan. Golkar yang dulu cenderung sentralistik dan birokratik, perlahan bergeser menjadi organisasi yang lebih demokratis dan kolegial.
Kaderisasi, AMPI, dan Meritokrasi
Kini, di era kepemimpinan Bahlil Lahadalia sebagai Ketua Umum Partai Golkar (2024-2029), dibutuhkan terobosan baru yang melampaui Paradigma Baru tersebut. Transformasi ini mungkin dapat kita sebut sebagai Transformasi Jilid Dua.
Jika Akbar Tandjung membuka pintu transformasi internal, maka Ketum Bahlil memiliki tantangan untuk menyempurnakan dan memperdalam transformasi itu. Latar belakangnya yang non-tradisional, lahir dari Tanah Papua, tumbuh sebagai aktivis sambil berjuang membiayai pendidikannya, kemudian menjadi pengusaha nasional, hingga menjabat Menteri Investasi memberikan legitimasi moral dan pengalaman teknokratis untuk membawa Golkar masuk ke babak baru.
Penguatan kaderisasi yang inklusif menjadi kunci pertama dalam transformasi ini. Meski reformasi 1998 sudah menekankan meritokrasi, kenyataannya rekrutmen kader kerap masih didominasi elit lama. Di sinilah Ketum Bahlil bisa mengambil peran: membuka jalan lebih luas bagi kader muda, perempuan, serta mereka yang berasal dari wilayah yang selama ini termarjinalkan. Dalam pidatonya di Munas 2024, Ketum Bahlil menekankan pentingnya memperkuat representasi kader daerah di struktur pusat. Ini adalah langkah strategis untuk membumikan Golkar ke seluruh pelosok negeri.
Saya percaya, AMPI adalah instrumen penting dalam transformasi ini. Ia bukan sekadar sayap, tapi jantung dari regenerasi politik Golkar. Di sinilah tempat angkatan muda belajar berorganisasi, mengelola program dan yang terpenting, belajar mendengar denyut aspirasi masyarakat akar rumput.
Politik yang Memberdayakan
Untuk mendukung transformasi ini, Golkar harus dikembalikan sebagai partai kekaryaan yang memberdayakan. Pasca-reformasi, Golkar kerap diasosiasikan sebagai partai penguasa yang pragmatis dan oportunis. Di tangan Ketum Bahlil, Golkar bisa kembali pada akar ideologisnya sebagai partai pembangunan yang berpihak pada rakyat. Ia bisa menjadikan Golkar sebagai motor kebijakan pro-investasi, pelindung UMKM, dan pelopor transisi energi bersih. Kombinasi antara latar belakang bisnis dan pengalaman di pemerintahan menjadi aset unik bagi Ketum Bahlil untuk mendefinisikan ulang posisi Golkar dalam lanskap politik nasional.
Selanjutnya, transparansi dan pencegahan oligarki internal. Salah satu tantangan abadi partai besar adalah resistensi terhadap perubahan. Golkar tak luput dari dinamika ini. Munas yang lalu, meskipun menghadirkan Ketum Bahlil sebagai figur baru, berlangsung dengan mekanisme aklamasi yang masih menyisakan ruang perdebatan. Di sinilah ia diuji: apakah mampu menjadikan Golkar sebagai partai yang sungguh demokratis dalam proses suksesi, dan bukan sekadar memperkuat dominasi elit politik. Intervensi kekuatan eksternal, baik yang berasal dari pusat kekuasaan atau figur besar dalam partai harus dibatasi. Independensi organisasi adalah salah satu syarat agar meritokrasi bisa tumbuh sehat.
Ketum Bahlil juga harus beradaptasi terhadap isu kontemporer seperti digitalisasi dan keberlanjutan lingkungan. Dunia berubah cepat, dan setiap yang gagal membaca zaman akan ditinggalkan. Transformasi Jilid Dua harus mampu menghadirkan jawaban atas tantangan zaman. Ekonomi digital, transisi energi, dan perubahan iklim bukan hanya isu global, tetapi telah menjadi kebutuhan lokal. Ketum Bahlil tentu memiliki kapasitas teknokratik untuk mendorong kebijakan hijau dan memperluas digitalisasi UMKM. Jika berhasil, Golkar tidak hanya relevan, tetapi juga visioner.
Narasi Baru, Harapan Baru
Terakhir dan mungkin yang paling penting adalah membangun narasi baru bagi Golkar. Selama ini, Golkar kerap dibayangi oleh sejarah masa lalunya. Sebagian publik masih melihatnya sebagai simbol status quo. Ketum Bahlil, dengan citranya sebagai self-made entrepreneur, punya modal kuat untuk mengubah itu. Ia bisa mengubah narasi Golkar dari partai warisan menjadi partai solusi. Dari partai elit menjadi partai rakyat. Dari partai nostalgia menjadi partai masa depan.
Jika kita tarik benang merahnya, Transformasi Jilid Dua bukan sekadar kelanjutan dari transformasi internal, tetapi juga perluasan makna dari partai modern. Ini adalah jalan menuju kultur baru. Sebuah internalisasi atas nilai baru. Di tengah skeptisisme angkatan muda terhadap politik, Golkar bisa menjadi tempat bagi mereka yang ingin mengubah keadaan.
Meritokrasi telah menjadi komitmen sejak Paradigma Baru dijadikan prinsip utama dalam seluruh proses organisasi. Dari rekrutmen, promosi kader, hingga pengambilan keputusan. Dan meritokrasi sejati hanya bisa tumbuh bila partai terbuka, kompetitif, dan demokratis. Di sinilah kita melihat Ketum Bahlil yang tidak lahir dari dinasti politik menjadi simbol bahwa Golkar punya ruang untuk semua angkatan bangsa yang berprestasi. Bahwa siapa pun, dari mana pun asalnya, bisa menjadi pemimpin jika punya kapasitas, integritas, dan dedikasi.
Sebagai angkatan muda yang masih percaya bahwa politik adalah salah satu jalan perubahan, saya melihat Golkar memang bukan sebagai tempat yang sempurna. Tapi saya tahu ini adalah tempat yang membuka ruang bagi setiap angkatan muda. Tempat yang bisa menjadi rumah bagi generasi baru yang ingin berkarya.
Bagi saya, bergabung dengan AMPI adalah bagian dari perjalanan. Tapi ini bukan tentang saya. Ini tentang kita. Angkatan-angkatan muda yang ingin Indonesia bergerak lebih cepat, lebih adil, dan lebih maju. Ini tentang mimpi kolektif yang bisa kita wujudkan lewat jalan politik yang bermartabat.
Dan jika Transformasi Jilid Dua ini berhasil, Golkar akan membuktikan bahwa partai politik tidak harus menjadi beban demokrasi. Ia bisa menjadi lokomotif kemajuan. Ia bisa menjadi harapan.
Bukan hanya untuk kadernya. Tapi untuk Indonesia.