Topik Ekologi Spiritual terus menarik untuk dibahas. Pasalnya, topik ini tak hanya menyangkut aspek religius, tetapi juga aspek yang dibahas di berbagai forum global, yakni keberlanjutan lingkungan dan bumi kita. Ide Ekologi Spiritual ini saya serap juga dari seorang tokoh intelektual.
Pada 1968, ulama dan pemikir kontemporer Sayyed Hossein Nasr menerbitkan buku berjudul Man and Nature: The Spiritual Crisis in Modern Man. Sayyed Nasr yang juga guru besar pada topik modernitas di dunia barat dan timur menganggap, krisis lingkungan adalah hasil dari hilangnya kesadaran spiritual dan etika terhadap alam. Lebih jauh, Sayyed Nasr menjelaskan, Islam melihat alam adalah ciptaan Tuhan yang harus dihormati dan dipelihara. Sementara, manusia, adalah khalifah, pemimpin di bumi, yang dititipi tanggung jawab spiritual untuk menjaga keseimbangan ekosistem.
Ekologi Spiritual juga pernah dipopulerkan oleh ulama NU dari Indonesia, K.H. Ali Yafie. Prof. KH. Ali Yafie menegaskan bahwa, menjaga lingkungan hidup hukumnya fardhu kifayah (2006). Artinya, semua orang baik individu maupun kelompok termasuk perusahaan bertanggung jawab terhadap pelestarian lingkungan dan harus terlibat dalam penanganan kerusakan lingkungan.
Melalui Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBI NU), saya banyak mengikuti diskusi dan kegiatan di alam, sebagai representasi dari dimensi sains dan Islam. Yang tak kalah penting, pergerakan ini juga melibatkan regenerasi yang cukup produktif, sehingga orang muda sebagai pemegang estafet untuk mengurus bumi, ikut andil dalam berproses di LPBI NU.
Selain itu, saya juga menyertakan komunitas mitigasi bencana dan peduli lingkungan pada masa kampanye jelang pesta demokrasi 2024. Seiring dengan membesarnya ekosistem di jejaring Tim Kolaborasi Nasional (TKN) Fanta, penulis juga mengakomodasi hadirnya Fanta for Earth, kelompok yang diisi para praktisi mitigasi bencana dan cinta lingkungan. Beberapa tindakan nyata melalui kelompok ini, yakni serangkaian diskusi terkait policy making yang pro terhadap bumi kita, susur sungai dan penanaman pohon di bantaran sungai, serta penanaman bibit bakau di pesisir yang kurang terjamah, di dekat Bandara Internasional Soekarno-Hatta.
Oleh karenanya, senang rasanya dapat berkontribusi pada Resilience Forum 2024 yang digagas oleh Dr. Muhammad ‘Hattar’ Hidayat dan rekan-rekan di LSPR Jakarta. Semoga upaya-upaya terkait sustainability dan ketahanan menghadapi bencana terus menjadi topik-topik yang mendapat concern seluruh pemangku kepentingan.