“Gunung teu meunang dilebur; Lebak teu meunang dirusak; Pendek teu meunang disambung; Lojong teu meunang dipotong (Gunung tidak boleh dihancurkan; Lebak tidak boleh dirusak; Pendek tidak boleh disambung; Panjang tidak boleh dipotong).

Pesan tersebut disampaikan Kepala Desa Kanekes sekaligus Tetua Adat Baduy, Jaro Oom, sesaat setelah kami tiba di Baduy Luar, Rabu (25/12). Rombongan kami terdiri dari rekan-rekan Tim Kolaborasi Nasional (TKN) Fanta, dan berjumlah sekitar 30 orang datang. Kebetulan rombongan ini datang dari berbagai daerah di Indonesia. Sehingga, datang ke Baduy semakin memperkaya khazanah kami akan kekayaan alam dan budaya Indonesia

Sembari melanjutkan mengobrol dengan Jaro Oom, kami makan bersama. Alih-alih memesan makanan berupa nasi box atau sejenisnya, kami memesan makan ala warga Baduy Luar. Menunya, nasi liwet yang disajikan di daun pisang panjang, lengkap dengan aneka protein: tempe bacem, ayam goreng, dan ikan peda goreng. Selain itu, kami juga disajikan sayur asem. Satu orang dapat semangkuk sayur asem. Tak lengkap rasanya liwetan tanpa sambal terasi. Kami pun juga menyantap makan siang kami dengan sambal terasi, serta jengkol goreng. 

Pesan dari Jaro Oom tadi kuat dan dalam. Bahwa bagaimana manusia harus hidup berdampingan dengan alam. Menjaga keseimbangan alam bagi warga Baduy senafas dengan pewarisan terhadap tradisi budaya. Kesetiaan terhadap budaya tersebut sekaligus merupakan bentuk sikap tunduk mereka kepada anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa. 

Selama kurang lebih setengah hari, kami menikmati udara sejuk di Baduy, yang sesekali diiringi hujan gerimis. Lalu lalang wisatawan lainnya tak membuat kami takjub akan tatanan dalam bentuk rumah-rumah, keseharian, dan interaksi warga Baduy Luar. 

Kami menempuh jalur berupa tangga dari bebatuan, dan sesekali ikut meniti jalanan menurun, seiring dengan kontur di bukit-bukit tempat warga Baduy Luar bermukim. Hujan membuat jalanan licin. Meski jalanan memberi bekas noda kecoklatan di pakaian kami, siang hingga sore itu tetap berkesan dan dan menggores bahagia di hati kami. 

Bahagia kami terlengkapi dengan sambutan buah-buahan lonjong berwarna hijau muda dan wangi. Ya, kami datang di saat panen durian setempat. Seperti rasa durian khas Indonesia lainnya, rasa manis dan legit pada durian Baduy diiringi pula dengan sedikit saja rasa getir. Paripurna sudah kunjungan kami. Tak lupa, kami juga membeli buah tangan yang khas. Madu, gula aren, kain tenun, dan sarung batik serta ikat kepala biru-hitam khas Baduy, adalah beberapa oleh-oleh unggulan yang dapat dibeli di rumah-rumah warga. 

Perjalanan kali ini mengingatkan lagi akan prinsip ekologi spiritual yang beberapa kali saya tulis, serta saya paparkan pada forum-forum yang relevan. Prinsip ekologi spiritual adalah salah satu pandangan Alm. KH Ali Yafie, menjaga bumi adalah zuhud. Sikap spiritual yang merupakan nilai dasar tentang apa yang harus dituju dalam kehidupan dan bagaimana mengelola apa yang ada dalam alam ini untuk dapat dinikmati dan tidak menimbulkan kerusakan (QS. 28: 77).