Arief Rosyid Hasan (Alumni YPL Golkar Institute, Ketum PB HMI 2013-2015)

Dalam politik, sejarah sering diperlakukan seperti album foto lama: dikenang sesekali, lalu dilupakan. Namun di tangan Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia, sejarah justru dijadikan modal strategis untuk merancang masa depan. Lewat berbagai forum internal, termasuk Bimtek Fraksi Partai Golkar DPRD, Bahlil menghidupkan kembali narasi asal-usul partai. Langkah ini bukan sekadar romantisme masa lalu, tetapi strategi reposisi agar Golkar tetap relevan di tengah kompetisi politik yang semakin keras.

Bahlil menekankan dua pilar sejarah Golkar yang sering terlupakan. Pertama, Golkar lahir sebagai jawaban atas krisis ketatanegaraan, bukan sekadar alat kekuasaan. Pada era Demokrasi Parlementer (1950–1959), Indonesia dilanda instabilitas akut: kabinet rata-rata hanya berumur sembilan bulan, partai-partai sibuk dengan kepentingan sendiri, dan Dewan Konstituante gagal menyepakati dasar negara. Dalam situasi inilah muncul gagasan untuk kembali ke UUD 1945, memberikan peran kepada golongan fungsional, dan mengakhiri kebuntuan politik.

Sebagaimana dicatat oleh Drs. Imam Pratignyo dalam bukunya Ungkapan Sejarah Lahirnya Golongan Karya, saat itu politik Indonesia terjangkit apa yang ia sebut “penyakit egosentros,” yakni “penyakit mementingkan diri sendiri, sehingga kepentingan nasional dikalahkan oleh kepentingan golongan dan partai.” Sistem multipartai yang diimpor dari Barat dinilai tidak sesuai dengan watak bangsa Indonesia yang berjiwa kekeluargaan, musyawarah, dan gotong royong. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 menjadi koreksi total terhadap situasi tersebut, sekaligus pintu masuk bagi lahirnya Golongan Karya sebagai konseptor penyelamat bangsa.

Narasi kedua yang dihidupkan Bahlil adalah bahwa Golkar lahir dari rahim 97 organisasi. Fakta ini sering diabaikan, padahal justru menjadi kekuatan besar. Ada HMI, PII, Pemuda Muhammadiyah, IMM, IPM, IDI, ISEI, hingga IAI. Semua ini menjadikan Golkar “Indonesia mini,” jauh dari kesan eksklusif. Dengan menyatakan bahwa “tidak boleh ada satu pihak pun yang merasa paling memilikinya,” Bahlil mengirimkan pesan tegas: Golkar adalah rumah bersama, terlalu besar untuk dimonopoli siapa pun.

Bagi publik, khususnya generasi muda dan kalangan profesional, pesan inklusivitas ini relevan. Di era ketika politik sering dipersepsikan tertutup dan elitis, narasi “rumah bersama” menghadirkan wajah segar. Golkar bisa kembali menyapa anak muda dengan mengatakan: “Organisasi kakek-nenek kalian dulu ikut mendirikan partai ini. Ini juga rumah kalian.” Pesan semacam ini lebih kuat daripada sekadar janji politik lima tahunan.

Namun sejarah, betapapun kuatnya, tidak akan cukup jika berhenti di tataran narasi. Tantangan terbesar Bahlil adalah menerjemahkannya ke dalam aksi nyata. Semangat “golongan karya” harus hidup dalam program pemberdayaan pemuda, perempuan, UMKM, koperasi, petani, dan buruh. Begitu juga semangat “97 organisasi” harus tercermin dalam pola rekrutmen kader yang meritokratis, bukan sekadar bagi-bagi kursi. Jika ini dilakukan, sejarah tidak hanya jadi cerita indah, tapi juga peta jalan untuk masa depan.

Dalam iklim politik nasional yang masih penuh polarisasi, posisi Golkar sebagai “rumah bersama” bisa menjadi keunggulan tersendiri. Golkar dapat memosisikan diri sebagai stabilisator, fokus pada pembangunan, dan menjauhi retorika perpecahan. Inilah cara terbaik mengembalikan Golkar ke khittah aslinya: wadah karya, pemersatu bangsa, sekaligus penyelenggara negara yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.

Bahlil Lahadalia telah membuka kembali lumbung modal strategis Golkar: sejarahnya. Dengan menghidupkan narasi kelahiran partai sebagai jawaban atas krisis sistem dan hasil ikhtiar kolektif 97 organisasi, ia tidak hanya mengenang masa lalu, melainkan merancang masa depan. Jika komitmen ini konsisten diwujudkan dalam tindakan nyata, maka Golkar bukan sekadar partai besar secara kuantitas, tetapi juga kuat secara ideologis dan relevan secara strategis bagi Indonesia hari ini dan esok.