Oleh : drg. Arief Rosyid (Ketum PB HMI 2013-2015)
Kenangan banyak tokoh tentang Gus Sholah sebagai solidarity maker tak dapat dibendung, mengiringi kepergian beliau untuk selamanya. Dalam diksi yang menarik digambarkan oleh Sekjen PB NU Helmy Faishal Zaini dalam Kompas (4/2/2020), bahwa almarhum sebagai obor persatuan yang kini padam dan akan sulit dicari penggantinya.
Din Syamsuddin, Dewan Pertimbangan MUI, mengatakan beberapa kali almarhum mengajak untuk mempertemukan para tokoh Islam guna menyatukan pikiran terhadap masalah-masalah kebangsaan, dan menghadapi gejala pemecahbelahan umat oleh umat sendiri.
Lanjutnya, begitu besar keprihatinan Almarhum terhadap keterpecahan ummat dan rendahnya qiyadah merekatkan ukhuwah Islamiyah baik antar organisasi maupun dalam satu organisasi. Menurut Almarhum, banyak yg terjebak pada hubbud dunya (pragmatisme dan materialisme).
Kesaksian para tokoh ini sedang mengukuhkan kerinduan mereka terhadap sosok Gus Sholah. Ummat, bangsa, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia benar-benar kehilangan.
Saya lupa tepatnya kapan, saya hadir sebagai peserta dan almarhum sebagai pembicara, beliau dengan sangat tenang menjelaskan tantangan ummat Islam dan apa yang harusnya dilakukan oleh kami sebagai generasi muda ummat dan bangsa.
Pengalaman tersebut yang juga menguatkan kami (para peserta) waktu itu, untuk terus bekerja demi persatuan antar ummat Islam dan juga antar ummat beragama. Cuma dengan persatuan, keindonesiaan kita dapat bertahan lama, hingga kini dan seterusnya.
73 tahun HMI
Himpunan Mahasiswa Islam, yang hari ini tepat berusia 73 tahun, adalah kawah candradimuka. Istilah ini diselipkan sebagai judul oleh kanda Solihin sebagai penyusun buku HMI Candradimuka Mahasiswa.
Sebagai seorang pewayang, beliau memberi penegasan kepada mahasiswa bahwa HMI adalah tempat untuk menggembleng diri pribadi, supaya kuat terlatih, dan tangkas dalam semua medan. Khususnya dalam konteks keislaman dan keindonesiaan.
Lalu apa relevansinya dengan Gus Sholah diatas? Tentu meski tak langsung, ada tautan tentang komitmen keummatan dan kebangsaan dari keduanya. Selain itu, tentu saja kedekatan Gus Sholah dengan banyak tokoh HMI seperti Jusuf Kalla, Akbar Tanjung, Mahfud MD, dan lainnya.
Secara organisasi, NU dan HMI, juga tentu saja Muhammadiyah, Persis, Hidayatullah, SI, dan ormas-ormas Islam lainnya tak perlu diragukan lagi komitmennya dalam menjaga NKRI. Tak sedikit dari manusianya juga yang itu-itu saja, secara sederhana misalnya anggota HMI ada di NU, juga anggota NU ada di HMI.
Interaksi yang panjang antara organisasi inilah yang membuat Indonesia meski peroleh banyak ujian sejarah, tapi mampu bertahan hingga hari ini. Semuanya saling melengkapi dengan peran masing-masing.
Kesadaran ini yang berulang-ulang disampaikan oleh Gus Sholah, bahwa meski berbeda yang mesti kita dahulukan adalah semangat persamaannya, merujuk pada sila ketiga pancasila Persatuan Indonesia dan Bhinneka Tunggal Ika.
Dalam doktrin yang sama HMI telah 73 tahun berperan membina anggotanya sebagai kader ummat dan bangsa. Kepedulian dan komitmen terhadap kedua hal tersebut adalah segalanya bagi HMI.
Sebuah editorial di The Jakarta Post (25/11/2015), membayangkan Indonesia tanpa HMI nyaris mustahil. Cak Nur dan intelektual lainnya di HMI ikut menjadi bagian penting menjaga demokrasi di Indonesia.
Karena itu, sebagai anak ummat dan anak bangsa penting kita menyerap apa yang telah menjadi warisan para pendahulu kita untuk terus merawat demokrasi. Ikut bertanggung jawab mendorong kohesifitas sosial antar ummat beragama.
Indonesia Maju
Menengok sejarah dan menjadikannya sebagai pengingat adalah modal dasar kita untuk melangkah ke depan. Dalam ungkapan Presiden Soekarno yaitu “Jas Merah : Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah”.
Tidak berlebihan jika dikatakan, sejarah adalah tumpuan untuk tiap agenda kemajuan. Dengan pemahaman sejarah yang cukup, kita mampu memijak dengan baik untuk melakukan lompatan kemajuan.
Pak Jokowi dibanyak kesempatan menyampaikan agar menjadi negara yang maju. Dalamvisi beliau sangat jelas menginginkan kita sebagai Indonesia Maju.
Pada saat usia 100 tahun Indonesia, tahun 2045, diperkirakan akan menjadi negara berpendapatan tinggi dan menjadi kekuatan ekonomi nomor empat di dunia. Beliau menegaskan, bangsa Indonesia harus berubah.
Cara-cara lama yang tidak kompetitif harus dihentikan, kita butuh cara-cara baru yang lebih cepat. Melangkah saja tidak cukup kata beliau, yang paling kita butuhkan adalah lompatan demi lompatan kemajuan.
Momentumnya tepat, tatkala bangsa kita berada di puncak bonus demografi, akan terjadi antara tahun 2020 hingga 2024. Bonus demografi akan menjadi bonus lompatan kemajuan jika disiapkan dengan baik dan benar.
Indonesia membutuhkan SDM yang kompetitif, yaitu bersifat pekerja keras, jujur, kolaboratif, solutif, sekaligus memiliki leadership dan enterpreunership. Selain itu tentu saja kompetitif dalam penguasaan ilmu pengetahuan.
Dalam membangun SDM yang kompetitif itulah HMI perlu berperan. Tidak cuma di Indonesia juga dalam konteks global, HMI secara kuantitatif adalah produsen terbesar dalam membina kader-kadernya. HMI adalah organisasi mahasiswa yang memiliki jenjang perkaderan yang terstruktur, sistematis dan massif.
Tiap tahun mampu memproduksi setidaknya puluhan ribu hingga ratusan ribu kader. Asumsi yang paling minimal LK3 : 20 badko x 30 orang peserta = 600 orang/2 tahun, LK2 : 200 cabang x 40 orang = 800 orang/tahun, dan LK1 : 200 cabang x 10 komisariat x 30 orang : 60.000 orang.
Secara kualitatif harus diakui kita masih ketinggalan. Pengetahuan dan komitmen keislaman keindonesiaan tentu saja belum cukup, perlu ditambah dengan kemampuan kompetitif yang lain.
Sepuluh top skill (Complex problem solving, critical thinking, creativity, people management, coordinating with others, emotional intelligence, judgement and decision making, service orientation, negotiation, & cognitive flexibility) World Economic Forum yang telah dimiliki kader HMI harus benar-benar dimanfaatkan dengan sebaik-baik dan sebenar-benarnya.
Kadang-kadang memang kita lupa kalau apa yang sudah kita miliki belum dimaksimalkan, sehingga masih berupa potensi. Kealpaan kita itulah yang membuat kita kufur nikmat, lupa bersyukur.
Akhirnya sambil mendoakan Alm. Gus Sholah peroleh tempat terindah disisi-Nya, sekaligus kita berikhtiar menjadikan HMI sebagai mata air SDM unggul yang menghidupkan kembali obor persatuan ummat dan bangsa. Semoga!