drg. Arief Rosyid (PP Dewan Masjid Indonesia)
Pagi ini dalam perjalanan ke Pontianak, kali ketiga saya meneteskan air mata untuk kepergian salah satu guru saya, Kyai Bagja. Terasa berat untuk tidak menjumpainya sekali lagi dan ikut mensolatkan jenazahnya yang telah terbujur kaku.
Tangisan pertama saya, pada saat menemaninya di ICU RS. JMC Mampang. Berselang lima menit ketika pamit dan mendaratkan kecupan pada punggung tangannya, keluarga diajak ke dalam ruangan untuk menyaksikan tindakan resusitasi kepada almarhum yang sempat kehilangan denyut nadi.
Yang kedua ketika menerima pesan kepergian almarhum untuk selamanya di dalam whatsapp grup Dewan Masjid Indonesia (DMI). Saya dikonfirmasi oleh salah seorang pengurus dan saya teruskan ke putranya, dijawab bahwa pesan itu benar adanya.
Disaat bersamaan saya harus bersiap-siap menghadiri undangan sebagai narasumber di Latihan Kader II HMI Cabang Mempawah, Kalimantan Barat. Awalnya sempat galau, tapi dengan mengingat pesan-pesan almarhum saya memutuskan untuk menghadiri training tersebut.
Bagi Kyai Bagja, perkaderan adalah jantung organisasi yang terus memompa elan vital perjuangan organisasi tersebut. Training dalam perkaderan yang dilakukan adalah awal dari sebuah training atau latihan yang sesungguhnya dalam kehidupan kita.
DMI dan Pemuda Masjid
Setiap perjumpaan dengannya, baik dilokasi rapat DMI, juga beberapa kali di kantornya sekitaran Jl. Saharjo. Almarhum akan menjelaskan dengan tenang, tentu saja secara runtut berikut poin-poinnya yang sangat jelas.
Hampir dua pertiga urusannya di DMI bersentuhan dengan saya dan teman-teman di departemen kaderisasi pemuda dan remaja Masjid. Almarhum yang secara langsung membidangi departemen kami tersebut.
Beliau banyak membimbing saya sejak awal bergabung di DMI tersebut, mulai dari tahapan perencanaan hingga pendalaman substansi dari setiap kegiatan yang sudah digelar.
Sebut saja Indonesian Islamic Youth Economic Forum (ISYEF), Silaturrahim Nasional Pemuda dan Remaja Masjid, hingga Muktamar Pemuda Islam semuanya adalah buah dari diskusi dengan beliau.
Sekat-sekat yang selama ini ada antar pemuda Islam harus mampu disingkap, karena dengan ikhtiar seperti itulah Masjid benar-benar menjadi titik temu semua kepentingan ummat Islam.
Masjid berfungsi sebagai rumah bersama yang mempersatukan, khususnya pemuda sebagai masa depan ummat dan bangsa. Memulainya sedini mungkin akan memudahkan kerja-kerja kita kedepan untuk memakmurkan dan dimakmurkan oleh Masjid, sebagaimana visi Ketum DMI HM. Jusuf Kalla.
Beberapa yang terekam baik dari catatan-catatan yang sempat saya abadikan ketika berdiskusi dengan beliau misalnya bahwa perkaderan pemuda dan remaja harus dibuat semenarik mungkin sehingga menarik minat mereka untuk memenuhi Masjid.
Selain itu beliau selalu menekankan Masjid memiliki modal sosial yang harus dibangun dan dikokohkan. Pertama, value atau nilai-nilai yang menyatukan. Hal ini yang menjadi bagian tak terpisahkan dengan Masjid, sehingga nilai-nilai ukhuwah islamiyah dan ukhuwah wathoniyah.
Bagi beliau etos kebersamaan itulah yang menjadi perekat toleransi antar ummat beragama, sebagai nilai ala Islam Indonesia. Nilai inilah yang menyatukan, sebagai kesepakatan dan kesepahaman yang tinggi satu sama lain.
Kedua, trust atau kepercayaan. Masjid selama ini menjadi tempat untuk menjaga kesucian, sehingga ummat Islam bisa membangun kepercayaannya dengan baik.
Selain jamaah biasa atau umum, diharapkan Masjid terus mampu menjaga kepercayaannya pada kelompok ibu-ibu dan generasi mudanya. Dua kelompok ini yang dianggap almarhum sebagai kelompok yang strategis untuk peran memakmurkan dan dimakmurkan Masjid.
Ketiga, networking atau jaringan. Tentu saja hal ini menjadi penting untuk pengembangan peran Masjid yang tidak hanya digunakan sebagai tempat untuk beribadah secara vertikal, juga melakukannya perannya secara sosial ke sekitarnya demi kemajuan ummat dan bangsa.
Sebagai orang dengan jam terbang yang tinggi dengan pergaulan yang luas, saya bersyukur bisa belajar langsung dengan almarhum meski secara singkat hanya dua tahun. Pengalaman panjang sebagai Ketum PMII periode 1977-1981, Sekjen PB NU periode 1989-1994, dan PP DMI-lah yang membuatnya kenyang dalam mengurai problematika keummatan dan kebangsaan yang selama ini hadir.
Kesabaran untuk membimbing dan menggerakkan kami yang muda membuat kami tak kunjung ingin segera menyelesaikan setiap perjumpaan dengan beliau. Meski kini kami tahu, Kyai Bagja lebih ingin berjumpa dengan Penciptanya.
Innalillahi wa innailaihi rajiun, insyaAllah husnul khatimah.