Pekan lalu, tulisan saya “Pemuda Lorong Makassar: Kota dan Identitas” dimuat di koran lokal, salah satu yang terbesar di Makassar, yakni Harian Tribun Timur. Saya tergerak untuk menulis dan melakukan aksi nyata untuk Makassar, kota yang turut ‘membesarkan’ saya. Kembali lagi, peluang strategis untuk pemuda menjadi concern saya, dan melihat relevansi pendekatan pembangunan di ibu kota provinsi Sulawesi Selatan tersebut. 

Saya menulis, bahwa lorong-lorong di Makassar adalah sumber denyut nadi kota Makassar. Lorong di Makassar tersebar ke berbagai sudut, dan tentu diisi pula oleh pemuda. Dari data yang ada, 66,28 persen atau sekitar 6 juta penduduk Sulawesi Selatan adalah penduduk usia muda dan menuju muda. Kita punya banyak energi segar untuk mengambil peran di segala lini. 

Berangkat dari latar belakang itu pulalah, Merial Institute, sebuah lembaga think thank yang saya dirikan, turun gunung dan berkolaborasi dengan Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Kota Makassar untuk melakukan Pelatihan Sentra Pemuda Berbasis Lorong, yang diadakan pada 16-17 Juni dan 23-24 Juni. Kali ini, kami meng-onboard 100 pemuda dari lorong-lorong di Kota Makassar

Lewat pelatihan ini, kami berharap pemuda di lorong dapat terinspirasi dan menginspirasi lingkup kecil di lingkungannya untuk memajukan lorong. Seterusnya tereskalasi untuk memajukan kota, provinsi, bahkan negara kita tercinta. Semuanya harus dimulai dari adanya wadah untuk menyalurkan ide, dan mulai menggerakkan literasi. 

Saya yakin, modal sosio-kultural pemuda di Makassar lebih dari cukup untuk menggerakkan perubahan dari lorong. Kebijakan pemerintah, kesadaran individu dan pemuda perlu bergerak kolektif dan bersinergi, sehingga Makassar dengan budaya siri’ yang dibanggakan, dapat sekali lagi menjadi kebanggaan dari timur. Ewako!