15 Mei kemarin diperingati sebagai Hari Nakba, yang artinya “hari kehancuran”. Peringatan ini adalah tanda bahwa pada tahun 1948, Hari Nakba adalah momentum pengusiran bangsa Palestina sekaligus pencetus berdirinya negara Israel. 

Peringatan tersebut pun diawali dengan jatuhnya korban sejak April, karena sebuah operasi militer yang diklaim oleh Israel “menyasar teroris”. Padahal, kita semua tahu melalui video di media sosial dan pemberitaan resmi, korban serangan tersebut termasuk juga perempuan, anak, dan awak media. 

Rentetan kejadian tersebut memantik solidaritas dunia. Tidak hanya di Indonesia, warga di negara – negara barat, khususnya Amerika Serikat juga ikut bersuara. Hal tersebut pun dimotori oleh figur – figur selebritas seperti Hadid bersaudara, yang ikut long march di New York. 

Bagaimana dengan Indonesia? Menurut pengamatan saya, milenial sangat antusias mengikuti perkembangan Palestina, dengan memunculkan diskusi – diskusi dan mengikuti ulasan seputar konflik di sana dan urgensi mendukung dihentikannya penguasaan wilayah secara sewenang – wenang. 

Setidaknya, di lingkaran pertemanan saya, setiap kali saya membuka laman media sosial, muncul seruan – seruan “Save Palestine”, dan narasi seperti “Konflik Palestina dan Israel bukan konflik agama semata”, “Stop agresi militer yang menyasar sipil”, dan ajakan berdonasi untuk mendukung operasi rumah sakit Indonesia di Palestina. 

Saya pribadi telah mengikuti beberapa kegiatan dan aksi yang merupakan bentuk dukungan untuk Palestina. Antara lain, aksi turun ke jalan pada tahun 2010 dan Konferensi Perdamaian Palestina di Lebanon. 

Salah satu yang otomatis muncul saat terjadi serangan ke wilayah Palestina adalah perang narasi. Meskipun menurut observasi saya, solidaritas mendukung Palestina sudah cukup besar, namun masih banyak kontra-narasi yang mengalir. 

Tidak susah untuk mencarinya, terutama karena kebebasan berekspresi di media sosial. 

Jika kita di Indonesia terbiasa dengan perang narasi selama pemilihan presiden atau kepala daerah, maka isu Palestina – Israel ini juga demikian. Ada pro – kontra, dan ada area abu – abu yang memerlukan cek fakta. 

Saya melihat di sinilah peranan generasi milenial yang juga merupakan digital native, alias mereka yang bertumbuh besar sejak internet hadir, sehingga lebih familiar dengan internet dan fiturnya. 

Bayangkan jika di masa depan, anak muda yang saat ini dihadapkan pada arus informasi harus mengambil keputusan tentang arah diplomasi bangsa ini. Tanpa pemahaman yang jernih mengenai latar belakang peristiwa dan sejarah Israel – Palestina, siapapun berpotensi terbawa arus oleh narasi yang mungkin saja sengaja dimainkan oleh pihak – pihak tertentu. 

Oleh karena itu, melalui kesempatan ini, saya ikut mengajak rekan – rekan semua agar menghidupkan literasi: membaca, menulis, dan berdiskusi, mengenai topik – topik aktual, termasuk topik tentang Palestina.