Oleh Arief Rosyid Hasan (Penggagas Rabu Hijrah)

Sorak-sorai menyambut lahirnya Bank Syariah Indonesia, bak publik menggelar karpet merah. Kita peroleh di hampir semua kanal media, baik konvensional maupun media sosial.

Harapan ini mengemuka sejak pertengahan tahun 2020, saat gagasan disampaikan oleh Menteri BUMN Erick Thohir sebagai pemilik saham. Bagi Erick, merger Bank Syariah Indonesia, satu dari dua aksi korporasi terbesar, selain penggabungan usaha mikro agar ada database riil UMKM.

Seperti yang banyak diberitakan, proses merger yang melibatkan Bank Syariah Mandiri, BNI Syariah, dan BRI Syariah ini akhirnya, menemukan babak baru dengan penetapan nama, yaitu Bank Syariah Indonesia dalam ringkasan penggabungan usaha yang telah dipublikasikan pada Jumat (11/12).

Kehadiran Bank Syariah Indonesia ini, bukan hanya sebagai kekuatan baru dalam menopang ekonomi di Tanah Air, melainkan juga meminjam istilah Presiden Joko Widodo, yakni sebagai “raksasa” baru yang akan bersaing secara global.

Jumlah aset Rp 214,6 triliun, modal inti lebih dari Rp 20,4 triliun, karyawan lebih dari 20 ribu orang, dan jumlah cabang yang mencapai 1.200 kantor dengan 1.700 jaringan ATM adalah infrastruktur yang sangat memadai untuk menjawab seluruh ekspektasi di atas.

Kolaborasi Milenial

Faktor lain yang tentu akan mengakselerasi kemajuan Bank Syariah Indonesia ini adalah seberapa kompak milenial di dalam dan di luar struktur Bank tersebut. Potensi ini adalah sebuah kekuatan besar yang mesti diaktivasi dengan baik.

Surplus kaum muda dengan total 62,98 persen (milenial 33,75 persen dan sentenial 29,23 persen) dari total penduduk Indonesia. Artinya enam dari 10 orang Indonesia atau lebih dari setengah penduduk Indonesia adalah mereka yang muda.

Jika melihat demografi pegawai Bank Syariah Mandiri, sebagai salah satu entitas terbesar dari Bank Syariah Indonesia ini sangat mencengangkan, yakni 72,5 persen dari total pegawainya berusia muda. Besarnya jumlah ini harus menjadi ‘magnet’ agar bisa menarik milenial yang ada di luar.

Mengelola harapan dan mewujudkannya satu persatu adalah kunci membangun kepercayaan milenial. Ketika terbangun dengan baik oleh kolaborasi milenial, bukan tak mungkin kita mampu mengakselerasi lompatan kemajuan literasi dan inklusi keuangan syariah.

Maklum saja literasi keuangan syariah Indonesia masih diangka 8,93 persen dan inklusi keuangan syariah 9,1 persen, bahkan market share perbankan syariah masih berkisar 6,18 persen. Angka-angka yang masih jauh dari ideal, mesti dikejar dengan cara-cara yang tak biasa nan segar.

Bank 5.0

Bersyukur, kita memasuki era teknologi digital yang menghampiri semua sisi kehidupan, khususnya kaum muda. Data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), pengguna internet di Indonesia hingga kuartal II 2020 mencapai 73,7 persen dari total penduduk Indonesia.

IDN Research Institute pada tahun 2019 menjelaskan 79 persen milenial menggunakan handphone satu menit setelah bangun pagi. Data-data tersebut secara gamblang menggambarkan kini hampir tak ada kehidupan tanpa teknologi dan internet.

Dalam satu bedah buku “Bank 4.0 ; Perbankan di Mana Saja dan Kapan Saja” karya Brett King yang dihadiri oleh Bari Arijono, pemilik lisensi untuk terjemahan dan pemasaran buku tersebut di Indonesia, tergambar, teknologi sangat mempengaruhi perkembangan bank di dunia.

Bank 1.0 menjadikan kantor sebagai pusat pelayanan nasabah, Bank 2.0 memberikan pelayanan perbankan di luar kantor seperti ATM, Bank 3.0 ditandai kehadiran smartphone yang memungkinkan pelayanan melalui perangkat ini, dan Bank 4.0 ditandai penggunaan kecerdasan buatan (AI).

Seiring waktu, bank semakin dituntut memfasilitasi nasabah melakukan transaksi di luar kanal milik perbankan seperti media sosial, dan lain sebagainya. Kita seperti tidak lagi ‘membutuhkan’ Bank, tapi lebih ke aktivitas perbankannya.

Namun, sesungguhnya kita telah memasuki fase yang mungkin saja belum dibayangkan oleh Brett King. Ketika teknologi di perbankan berkontribusi maksimal terhadap kemaslahatan yang berpusat pada kehidupan manusia, di situlah hadir gagasan tentang Bank 5.0.

Misalnya saja Bank Syariah Mandiri yang belakangan ini terus memperbarui layanan digitalnya. Dengan harapn tidak hanya sebagai sahabat finansial, tetapi juga sebagai sahabat sosial dan spiritual.

Selama pandemi Covid-19, layanan teknologi Mandiri Syariah Mobile membantu ratusan rumah sakit dengan APD, masker, hand sanitizer, dan disinfektan. Juga, membantu ribuan pelajar dengan smartphone dan paket kuota dalam Gerakan Tetap Bisa Sekolah.

Selain itu, pengumpulan dana zakat, infaq, dan wakaf yang mencapai 76,6 milyar dengan 78.312 orang dan 2.710 lembaga penerima manfaat. Dampak sangat besar inilah yang tentu saja menjadi pembeda utama kelahiran Bank Syariah Indonesia sebagai Bank 5.0.

Indonesia tidak lagi menjadi follower, tetapi menjadi pemimpin dunia perbankan. Ini keunggulan yang akan menjadi magnet bagi milenial berbondong-bondong menyukseskan agenda besar Indonesia, sebagai ‘raksasa’ baru dunia keuangan dan ekonomi syariah di dunia. Semoga!

*Terbit di Harian Republika, 14-12-2020