Sebelum menjejakkan kaki di Jakarta, akhir tahun 2010, saya diberi pesan oleh Ibu saya untuk menjaga diri dan senantiasa menjalin silaturrahim. Salah satu yang berulang disampaikannya adalah “jangan lupa bersilaturrahim dengan Puang Ali, Puang Isa, dan anak-anaknya (Om Syaiful, Om Azmi, Om Helmi, dan Om Tamam).”

Dari cerita Ibu saya, tidak hanya ada ikatan keluarga, istrinya Puang Isa adalah pasien gigi tiruan Ibu saya bahkan sejak Ibu masih mahasiswa. Pernah almarhumah Puang Isa ke Makassar hanya untuk datang menemui dokter giginya dan memperbaiki gigi tiruannya.

Dua cerita di atas oleh Ibu, menggambarkan hubungan kekeluargaan kami yang sangat dekat. Sejak saat itu, beberapa kali pengajian rutin KH. Ali Yafie saya ikuti di Masjid sekitar SCBD. Masjid ini dibangun oleh keluarga istri Om Tamam. Lalu diundang ke WAG Grup Kali Jampu Katabange oleh almarhum Om Azmi dan mengenal keluarga lain disana.

Puang Ali adalah sosok yang tidak membedakan siapapun orang yang ditemuinya, setidaknya ini berdasarkan banyak pengakuan orang, juga interaksi saya kepadanya. Pejabat atau yang biasa saja, senior maupun yang junior, ketika kita bertanya beliau selalu menjawab dengan baik karena keluasan pengetahuannya.

Buku-buku bacaannya berbagai kitab kuning, tapi ketika membaca dua buku Puang Ali “Merintis Fikih Lingkungan Hidup” dan “Beragama Secara Praktis Agar Hidup Lebih Bermakna”, kita dapat dengan mudah memahaminya. Kata Om Tamam, “Seperti itulah Puang Ali, beliau membaca banyak kitab dan menyederhanakannya agar mudah dipahami orang banyak.”

Berbagai pesan-pesan sederhana Puang Ali saya abadikan di media sosial, misalnya pesan pada generasi muda, “Anda harus tahu diri, tahu menempatkan diri, dan tahu membawa diri. Jika bicara dengan orang lain, bicaralah dan jangan mengada-ada. Jika berbuat sesuatu, berbuatlah apa adanya”.

Juga ketika saya bertanya ke KH. Ali Yafie yang pernah sebagai Ketum MUI, Rais Aam PB NU, dan anggota DPR dari daerah hingga ke pusat, “Apakah berpolitik memang berpisah dari kehidupan sehari-hari kita atau tidak?” Jawaban Beliau, “Berpolitik dapat berpisah atau bersatu tergantung diri kita sendiri”, sebagaimana pesan bahwa politik adalah jalan pengabdian.

Puang Ali tak hanya memiliki pesan mendalam, jiwanya juga sangat humoris. Dalam satu kesempatan mengajak Pengurus Masjid Agung Sunda Kelapa Menteng silaturrahim ke kediaman beliau, salah satu rahasia panjang umur kata beliau “jangan marah, lebih banyak ketawa, asal jangan ketawa sendiri tutup beliau.”

Seringkali jika suasana hati saya tidak menentu, saya memilih untuk bersilaturrahim dengan beliau. Pesan beliau sederhana, sering baca surah Al-Insyirah agar kita peroleh ketenangan hati dan kejernihan pikiran. Keduanya yang akan menuntunmu dalam menjalani kehidupan.

Sebelum Puang Ali memperoleh Life Time Achievement oleh BSI di ulang tahun yang pertama, kami mengadakan silaturrahim akhir tahun Komisaris dan Dewan Pengawas Syariah BSI dengan beliau. Alhamdulillah kita meminta nasehat dan doa agar senantiasa istiqomah bekerja untuk kemajuan BSI.

Puang Ali adalah salah satu tokoh/ulama yang berjasa merintis berdirinya Bank Syariah di Indonesia dengan menghadap Presiden Soeharto. Ditanya apa rahasia kesehatannya? Dijawab beliau mengutip hadis, selalu minum madu dan baca Alqur’an.

Lalu muncul pertanyaan, mengapa Kyai selalu senyum-senyum saja ketika melihat perdebatan dan perbedaan pendapat tentang agama? Beliau menunjuk surat Insyiroh. Lapangkanlah dadamu agar meluas bagaikan samudera sehingga bisa menampung dan menghargai perbedaan tanpa merusak kualitas airnya.

Ada lagi pertanyaan, apa nasehat yg bisa kami yang lebih muda dapat pegangi dalam mengawal BSI? Beliau mengutip nasehat Rasulullah, Qul amantu billah,wa-istaqim. Tunjukkan dirimu sebagai pribadi mukmin dan tetap istiqomah, yaitu berpegang dan berjalan diatas jalan yang lurus.

Yang juga tidak mungkin saya lupakan ketika tsunami pemberitaan fitnah menerjang, selain terus menenangkan keluarga, oleh KH Hidayat saya diminta untuk menemui Puang Ali. Setelah tabayyun, beliau menitipkan doa yang dituliskannya sendiri dalam Surat Al Qamar ayat 45 Sayuhzamul-jam’u wa yuwallụnad-dubur (Golongan itu pasti akan dikalahkan dan mereka akan mundur ke belakang).

Puang Ali tidak hanya memberi keteladanan dengan pengetahuannya yang luas, juga sikapnya yang tenang dalam berbagai situasi. Masalah kecil hingga sebesar apapun kata Om Tamam, selalu dihadapi dengan sikap yang sama, tenang dan jernih. Juga ketika beliau mengambil keputusan, diambil dengan tenang dan jernih, ketika sudah diambil pantang mengubahnya.

Anak saya yang ketiga-pun di beri namanya, Muhammad Ali. Request saya ke Om Tamam untuk disampaikan ke Puang Ali, ingin memberi nama anak yang artinya pejuang syariah. Waktu itu medsos saya diserang buzzer karena mengkritik salah satu pengusaha yang menghina syariah, ketika istri saya sudah bukaan ketiga di ruang persalinan.

Selamat jalan Puang Ali, mudah-mudahan kami semua dapat bersamamu, bersama-Nya, dan para kekasih-Nya yang lain. Allahummaghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fuanhu.