Arief Rosyid Hasan (Direktur Eksekutif Merial Institute, Ketum PB HMI 2013-2015)

Indonesia saat ini berada pada momentum historis yang akan menentukan arah bangsa ke depan: bonus demografi. Hampir 70 persen penduduk kita berada pada usia produktif, mayoritasnya adalah generasi muda. Momentum ini hanya datang sekali dalam sejarah. Bila kita keliru mengelolanya, bukan kemajuan yang diraih, melainkan beban sosial berupa pengangguran, kriminalitas, radikalisme, dan rendahnya daya saing global.

Presiden Prabowo Subianto, melalui Asta Cita, telah menegaskan pembangunan sumber daya manusia sebagai prioritas utama. Pemuda jelas menjadi inti dari agenda tersebut. Namun, faktanya, urusan pemuda sering kali terpinggirkan. Dalam praktik pemerintahan, kepemudaan kerap berada di bawah bayang-bayang olahraga. Kementerian yang memayungi keduanya, yakni Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora), sering lebih dikenal dengan prestasi olahraganya ketimbang dengan terobosan kebijakan pemudanya. Padahal, urusan pemuda justru sangat mendesak karena menyangkut fondasi bangsa di masa depan.

Pembaruan Regulasi dan Penguatan Indeks Pembangunan Pemuda

Penunjukan Erick Thohir sebagai Menpora memberi harapan akan lahirnya standar baru dalam tata kelola kementerian. Pengalaman panjang beliau di dunia manajemen, bisnis, olahraga, dan kepemimpinan nasional membekalinya dengan kapasitas yang jarang dimiliki pejabat publik. Dengan jejaring global dan cara pandang modern, Erick diharapkan tidak hanya membawa olahraga Indonesia naik kelas, tetapi juga menjadikan isu kepemudaan sebagai agenda prioritas yang sama pentingnya.

Dalam konteks inilah, ada dua agenda besar yang perlu segera dilakukan. Pertama, pembaruan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan, agar kebijakan lintas sektor terhadap pemuda memiliki landasan hukum yang lebih kuat. Peraturan Presiden Nomor 43 Tahun 2022 tentang Koordinasi Strategis Lintas Sektor Penyelenggaraan Pelayanan Kepemudaan memang sudah ada, tetapi daya ikatnya lemah. Tanpa payung hukum setingkat undang-undang, koordinasi lintas kementerian hanya akan berakhir di meja rapat tanpa implementasi nyata.

Kedua, menjadikan Indeks Pembangunan Pemuda (IPP) sebagai variabel utama dalam menentukan arah pembangunan nasional maupun daerah. IPP mengukur lima dimensi penting: pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan, lapangan kerja dan kesempatan berusaha, partisipasi dan kepemimpinan, serta gender dan inklusi. Selama ini IPP hanya sebatas angka laporan tahunan, belum menjadi dasar perencanaan lintas sektor. Padahal, jika pemerintah pusat dan daerah menjadikan IPP sebagai kompas, maka setiap kebijakan akan berorientasi pada pemuda.

Kita sering lupa bahwa berbagai problem bangsa—pengangguran, kemiskinan, ketimpangan, radikalisme, bahkan korupsi—sebenarnya berakar pada kegagalan membangun pondasi pemuda. Pemuda yang tidak sehat, tidak terdidik, dan tidak diberi kesempatan berpartisipasi akan kehilangan arah. Karena itu, pembangunan pemuda bukan hanya urusan satu kementerian, melainkan cross cutting issue yang menyentuh semua sektor.

Erick Thohir dan Harapan Baru untuk Pemuda Indonesia

Data IPP menunjukkan adanya kesenjangan yang tajam antarwilayah. Beberapa provinsi di Jawa memiliki indeks relatif tinggi, sementara wilayah timur Indonesia masih tertinggal jauh. Kesenjangan ini bukan hanya soal angka, tetapi juga soal keadilan sosial. Jika dibiarkan, kesenjangan bisa berujung pada disintegrasi dan lemahnya rasa kebangsaan. Maka, pembaruan UU Kepemudaan harus mencakup klausul afirmasi bagi daerah dengan skor IPP rendah, sehingga mereka mendapat alokasi program dan anggaran yang lebih besar.

Erick Thohir memiliki peluang besar untuk membalik paradigma ini. Dengan pengalamannya, ia bisa menghadirkan inovasi kebijakan kepemudaan yang tidak hanya seremonial, tetapi solutif. Misalnya, integrasi program kewirausahaan muda dengan akses permodalan BUMN/Danantara, penguatan literasi digital bekerja sama dengan Kementerian Komdigi, serta peningkatan partisipasi politik dan sosial pemuda melalui kolaborasi dengan organisasi kemasyarakatan.

Sejarah bangsa mengajarkan bahwa pemuda selalu menjadi pelopor perubahan. Dari Kebangkitan Nasional 1908, Sumpah Pemuda 1928, Proklamasi 1945, hingga Reformasi 1998, semuanya digerakkan oleh semangat muda. Karena itu, pemuda harus diperlakukan sebagai subjek pembangunan, bukan sekadar objek program. Dengan menjadikan IPP sebagai variabel wajib, kita tidak hanya menghitung seberapa banyak program berjalan, tetapi seberapa jauh pemuda diberdayakan untuk memimpin masa depan.

Harapan besar kini berada di tangan Erick Thohir sebagai Menpora. Publik menunggu terobosan nyata yang mampu menjadikan pemuda sebagai prioritas sejajar dengan olahraga. Jika olahraga bisa menghasilkan medali, maka kepemudaan harus menghasilkan generasi emas. Jika olahraga bisa membanggakan bangsa di panggung dunia, maka kepemudaan harus membangun karakter dan kapasitas bangsa di dalam negeri.

Bonus demografi bukan sekadar angka statistik. Ia adalah peluang dan sekaligus tantangan. Dengan hampir 70 persen penduduk berada pada usia produktif, kita memiliki modal besar untuk menjadi negara maju. Kehadiran Erick Thohir di Kemenpora harus menjadi momentum untuk mengubah paradigma bahwa urusan pemuda bukan lagi urusan kesekian. Pemuda adalah pondasi bangsa, motor transformasi, dan penentu arah Indonesia Emas 2045.