Bang Chairul Tanjung kedatangan kolega dan sanak famili di kediamannya untuk memberikan doa dan salam terakhir untuk Ibunda beliau yang berpulang. Yang hadir, tak terkecuali, adalah kolega Bang Chairul, yang juga para politik dan pengusaha tokoh di negeri ini.

Setelah berdoa bersama, Bang Chairul sejenak menyapa tetamu yang hadir, termasuk saya. Agak sedikit canggung, karena di antara mereka yang duduk di sofa, adalah orang – orang hebat. Saya duduk bersebelahan dengan Menperin di era Kabinet Kerja, Saleh Husin, lalu di sebelahnya ada Menteri BUMN Erick Thohir.

Di seberang meja ada Menteri Pendidikan 2009 – 2014 Prof. M Nuh. Lalu di arah jam 11 ada tuan rumah, pendiri Para Group dan Mantan Menko Perekomonian, Bang Chairul Tanjung, dan di sebelahnya ada pendahulu Bang Chairul di Kemenko Perekonomian, yakni Bang Hatta Rajasa.

Sang tuan rumah mengenali saya karena sama – sama berlatar belakang sebagai dokter gigi. Namun, saya diperkenalkan kembali oleh Bang Erick Thohir sebagai komisaris independen di BSI dan pengurus MES. Prof. Nuh di seberang kemudian menimpali, “Oh, ini Arief Rosyid yang dipuji oleh Dahlan Iskan, ya!” Sayapun mengangguk kecil, karena beberapa waktu lalu memang Prof Nuh, saya, dan Bang Dahlan Iskan pernah satu forum.

Sesi saling kenal – mengenalkan berupaya saya cairkan. Saya menyambung, dan kepada Bang Erick, saya menyebut Bang Hatta sebagai salah satu sosok yang pernah membantu kala awal saya masuk ke Jakarta.

Bang Hatta, seperti agak bisa ditebak mengatakan, “Oh iya, saya sudah lupa. Tapi, banyak yang biasa datang ke saya dan berterima kasih karena telah ditolong”. Pak Erick pun menutup sesi perkenalan untuk diri saya dengan berkata, “Justru yang benar seperti itu. Kita lupa sudah pernah bantu orang, dan (di lain waktu) mereka (datang) berterima kasih.”

Dari Dialog MASK x Republika Ba’da Jumat: Nyalakan Api Islam

Masjid Agung Sunda Kelapa (MASK) bekerja sama dengan Republika mengadakan Dialog Esklusif dengan tema “Islam, Kemodernan dan Keindonesiaan”. Dialog ini berlangsung di hari Jumat pekan lalu, setelah salat ashar berjemaah. Saya mendapat amanah sebagai host untuk memandu dialog, sekaligus mewakili pengurus MASK. 

Pada dialog kali ini, pembicara yang hadir adalah KH. Nur Alam Bachtir, seorang ulama dan dewan pakar MASK. Pembicara kedua adalah H. Abdul Gofur Mahmuddin, alumni Mesir yang pernah menjadi presiden PPMI Mesir periode 2015 – 2016. 

Kedua narasumber merepresentasikan pendakwah senior dan pendakwah dari generasi muda. Meskipun sering dikelilingi oleh kawan – kawan pemuda, saya kira formasi seperti ini seringkali kita butuhkan dalam diskusi. 

Senior diperlukan  untuk memberikan wisdom sesuai dengan pengalamannya. Sementara junior, diperlukan untuk memberikan ide segar yang relevan sesuai zamannya.  

Bicara Islam modern dan sesuai falsafah ke-Indonesiaan tidak lepas dari pandangan pemuda, tetapi mesti juga menyimak mereka yang telah melewati empat hingga lima dekade berada dalam nuansa Islam gotong royong di Indonesia. 

Tema yang diangkat pada Dialog kemarin memiliki satu benang merah dengan apa yang pernah diungkapkan Bung Karno, “Perjuangkan Api Islam, Bukan Abunya”. Menyimak paparan Kh. Nur Alam dan Bung Abdul Gofur, Islam dan ke-Indonesiaan dapat berpadu. Dan saya sendiri melihat, menjaga menyalanya api Islam juga memerlukan semangat anak – anak muda. 

Kita perlu figur – figur muda, yang lahir dari masjid,  yang nantinya menjadi cendekiawan seperti Gus Dur, Cak Nur, dan kawan – kawan.