Oleh : Arief Rosyid Hasan
Setahun setelah AKHLAK menjadi core values BUMN, hari ini AKHLAK juga menjadi core values ASN. Tentu ini menjadi kabar gembira ditengah segala hiruk pikuk yang terus muncul di tanah air tercinta.
Seperti yang sering kita tahu sebelumnya, sejak setahun lalu AKHLAK telah menjadi nilai utama yang terus menerus didengungkan diratusan perusahaan BUMN, hingga anak cucunya.
Semua sumber daya manusia di BUMN tidak hanya diminta untuk mengetahui soal AKHLAK ini, tapi juga diwajibkan untuk bisa menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Sekali lagi sehari-hari, tidak semau-maunya.
Inilah yang membuat secara terbuka AKHLAK elit di BUMN, baik Direksi maupun Komisaris menjadi sorotan utama. Ini sangat amat penting, selain karena mereka adalah contoh untuk pegawainya, juga karena BUMN bukan Badan Usaha Milik Nenek Lu!
BUMN adalah kekuatan kekayaan negara yang memiliki peran utama, meminjam kata Fachry Ali (Dalam Sambutan Buku BUMN BER-AKHLAK), kedigdayaan politik-ekonomi Indonesia sangat bergantung pada keberhasilan membangun, memberdayakan, dan mengembangkan BUMN.
Mimpi utama ini mesin utamanya tentu saja sumber daya manusia BUMN itu sendiri. Fondasi AKHLAK yang diletakkan oleh Menteri BUMN Erick Thohir menjadi game changer tiap insan BUMN dari sabang sampai merauke, dari cucu, anak, hingga induk perusahaan.
Menular ke ASN
Gayung bersambut, getaran mengarusutamakan AKHLAK ini juga kian menjadi perhatian. Presiden meluncurkan core values ASN BerAKHLAK dengan harapan menyeragamkan nilai-nilai dasar bagi ASN seluruh Indonesia.
Tujuan peluncuran core values AKHLAK ini kata Presiden Jokowi selain untuk menyeragamkan nilai-nilai dasar tadi, juga sebagai fondasi budaya kerja ASN yang profesional.
Beliau juga menegaskan bahwa setiap ASN dimanapun bertugas seharusnya memegang teguh nilai-nilai dasar serta semboyan yang sama. Seluruh ASN dari berbagai latar belakang profesi, seperti dosen, guru, jaksa, dokter, hingga Satpol PP harus mempunyai nilai dasar dan proposisi nilai rujukan yang sama.
Setelah itu tentu yang diharapkan terwujudnya upaya kolaboratif dalam penyelenggaraan pemerintahan, baik kolaborasi lintas organisasi, lintas daerah, lintas ilmu, dan lintas profesi. Dunia yang serba hybrid dan kolaboratif, tidak boleh lagi ada ego, baik ego sektor, ego daerah, dan ego ilmu.
Seperti yang kita tahu bersama, hambatan birokrasi akibat ego ini yang menjadi kendala bagi percepatan pembangunan Indonesia Maju. Setelah fokus pembangunan infrastruktur di periode pertama, Presiden Jokowi ingin benar-benar memastikan pembangunan sumber daya manusia di periode kedua sebagai legacy.
Dalam sebuah percakapan dengan Menteri yang masih aktif maupun yang sudah tidak aktif, saya menemukan kata kunci yang sama. Ego yang memuncak ini yang menjadi batu hambatan untuk melakukan percepatan bagi pembangunan untuk Indonesia Maju.
Jangankan antar satu kementerian dengan kementerian lain, juga dalam satu kementerian di unit terkecil pun mental untuk kolaborasi atau gotong royong ini seperti barang langka.
Pengalaman pribadi kami dalam mengawal Peraturan Presiden No. 66 tahun 2017 tentang Koordinasi Strategis Lintas Sektor Penyelenggaraan Pelayanan Kepemudaan kerap menemui soal-soal di atas.
Mimpi Presiden Jokowi untuk mengarus utamakan pembangunan kepemudaan dengan Perpres No. 66 tahun 2017 ini belum maksimal dampaknya, padahal seperti yang kita tahu bersama penduduk Indonesia kini mayoritas diisi oleh mereka yang berusia muda ini.
Akhirnya, apa yang dilakukan oleh Menteri BUMN Erick Thohir dan Presiden Jokowi adalah mengembalikan, menegakkan sekaligus menjawab apa yang menjadi pertanyaan-pernyataan kritis dari Prof. Quraish Shihab dalam bukunya “Yang Hilang Dari Kita : AKHLAK”.
Tulisan saya yang lain tentang AKHLAK
- https://ariefrosyid.id/pribadi/akhlak-pejabat-publik-dan-keadaban-kita.html (10/01/20)
- https://ariefrosyid.id/pribadi/akhlak-team-work-dan-loyalitas.html (08/03/20)