Arief Rosyid Hasan
Ketua Umum PB-HMI 2013 – 2015
Founder Merial Institute
Pernyataan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka baru-baru ini mengenai pentingnya bonus demografi sebagai kunci menuju Indonesia Emas 2045 patut kita apresiasi. Pernyataan tersebut menandakan bahwa isu kependudukan, khususnya peran generasi muda, kembali mendapat sorotan di tingkat tertinggi pengambil kebijakan nasional. Tentu banyak dari kita yang telah lama bekerja dan bergiat di isu ini melihat pernyataan tersebut sebagai gema dari isu yang telah lama kita suarakan.
Bonus demografi bukanlah isu yang baru dibicarakan kemarin. Ia bukan pula ide segar yang tiba-tiba muncul dari ruang rapat atau panggung konferensi. Sebaliknya, ini adalah kerja panjang yang telah kita rawat bertahun-tahun, bahkan sejak dua dekade silam. Saya sendiri menyadari pentingnya hal ini sejak masih mengabdi sebagai Ketua Umum PB HMI pada 2014 lalu. Bekerjasama dengan Bappenas dan BKKBN, kami mengadakan kegiatan bertajuk “Serve Our Generation” untuk memperlihatkan bahwa bonus demografi adalah kenyataan statistik yang harus kita sadari potensinya, sekaligus tantangannya. Potensi karena jumlah usia produktif mendominasi sehingga pemanfaatannya juga menjadi besar. Tantangan karena jika tidak dikelola secara terarah, ia bisa menjadi beban sosial yang luar biasa besar.
Dalam berbagai forum kepemudaan, baik di tingkat nasional maupun internasional, bersama beberapa kawan seperjuangan, kami menjadikan isu bonus demografi sebagai jantung dari diskusi dan inisiasi yang dilakukan. Ketika mengabdi sebagai Komisaris Independen di BSI, kami mendorong pendidikan vokasi yang relevan dengan dunia kerja dan menginisiasi ekosistem kewirausahaan sosial. Lewat LK2PK, kami mempromosikan gaya hidup sehat dan aktif, hingga melakukan pemberdayaan pemuda di masjid sebagai solusi ekonomi dan lapangan kerja melalui ISYEF. Kami tidak menunggu; kami bergerak lebih dulu. Hasilnya dapat terlihat pada beberapa inisiasi dan kolaborasi yang telah hadir mulai dari Milenial Fest, hingga keberhasilan melakukan deliberasi politik angkatan muda ketika menjadi Komandan TKN Fanta.
Inilah sebabnya mengapa perhatian dari Wakil Presiden terhadap isu ini memberi kita harapan baru. Bahwa kerja-kerja yang telah dilakukan angkatan muda selama ini akhirnya mendapat pengakuan dari pucuk pimpinan nasional. Bahwa isu ini tidak lagi menjadi milik eksklusif lembaga thinktank, lembaga statistik atau akademisi, tetapi menjadi bagian dari narasi kebangsaan yang dibicarakan secara terbuka.
Namun tentu saja, apresiasi saja tidak cukup. Kita berharap pernyataan tersebut menjadi pintu masuk bagi upaya yang lebih sistematis, terencana, dan berkelanjutan dalam mengelola bonus demografi. Kita tidak lagi membutuhkan program-program baru yang namanya terdengar indah di atas kertas, tetapi harus ada arah pembangunan kebijakan yang jelas, terukur, dan konsisten lintas pemerintahan pada sektor kepemudaan.
Pada 2023 lalu, Kemenpora telah membentuk Kelompok Kerja (Pokja) Tim Koordinasi Nasional Penyelenggaraan Pelayanan Kepemudaan melalui Keputusan Menteri Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia (Kepmen) Nomor 23 Tahun 2023. Pokja ini merupakan amanat Perpres No. 43 Tahun 2022. Saat itu saya sebagai Direktur Eksekutif Merial Institute bersama 80 perwakilan lintas sektor masuk sebagai anggota tim.
Sebenarnya Pokja ini bukan hal yang baru. Sebelumnya pada 2019 saya juga telah bergabung dengan Pokja Pelayanan Kepemudaan sebagai amanat Perpres No. 66 Tahun 2017 tentang Koordinasi Strategis Lintas Sektor Pelayanan Kepemudaan. Hanya saja, Perpres baru ini telah melalui penyempurnaan mekanisme dan struktur yang lebih terperinci, termasuk ditambahkannya mekanisme pembentukan tim koordinasi.
Melalui Pokja ini, saya mengusulkan adanya arsitektur pembangunan pemuda yang benar-benar memosisikan angkatan muda sebagai subjek utama. Dengan adanya peta jalan yang tepat , kita ingin memastikan bahwa investasi dalam sektor pendidikan, kesehatan, dan lapangan kerja benar-benar menyasar kebutuhan nyata generasi muda. Ini termasuk memastikan bahwa angkatan muda di pelosok Indonesia Timur, hingga lorong-lorong di kota-kota besar punya peluang yang setara untuk berkembang.
Kita juga membutuhkan ruang partisipasi yang lebih besar bagi angkatan muda dalam proses pengambilan keputusan. Bonus demografi bukan hanya tentang berapa banyak angkatan muda yang ada, tetapi seberapa besar mereka dilibatkan dalam menentukan arah bangsa. Representasi angkatan muda dalam politik, dalam dunia usaha, dalam birokrasi, dan dalam masyarakat sipil harus ditingkatkan bukan karena simbolisme, tapi karena memang mereka mampu dan layak diberi peran.
Sebagai bangsa, kita tidak boleh lupa bahwa generasi muda hari ini adalah wajah Indonesia pada 2045. Mereka yang hari ini berusia 15 hingga 40 tahun akan menjadi tulang punggung ketika Indonesia memasuki satu abad kemerdekaannya. Apa yang kita tanam hari ini dalam diri mereka akan menentukan seperti apa buah yang kita panen 20 tahun ke depan.
Karena itu, kita tidak bisa lagi melihat bonus demografi sebagai isu teknokratik yang diserahkan pada satu-dua kementerian. Ia harus menjadi isu lintas sektoral, lintas generasi, dan lintas wilayah. Perlu ada orkestrasi besar yang melibatkan semua pemangku kepentingan: pemerintah, swasta, akademisi, masyarakat sipil, media, dan tentu saja, pemuda itu sendiri.
Kita tidak kekurangan sumber daya. Kita juga tidak kekurangan ide dan inovasi dari generasi muda. Yang sering kali kurang adalah kepercayaan dan keberanian untuk memberi ruang. Maka, harapan terbesar kita dari pernyataan Wakil Presiden bukan semata pengakuan, tetapi sebuah pembangunan berkelanjutan dengan arah yang jelas. Bahwa setelah ini akan ada peta jalan yang nyata, dengan indikator yang jelas, dan ruang yang terbuka bagi angkatan muda Indonesia untuk terlibat.
Sebagai bangsa besar, kita harus berhenti menjadikan bonus demografi sebagai jargon atau sekadar kutipan dalam pidato. Sudah waktunya kita menempatkannya sebagai agenda strategis nasional, yang dielaborasi dengan keseriusan dan dijalankan dengan kesungguhan.
Kami, angkatan muda yang telah lama menyuarakan hal ini, akan terus menjaga bara semangatnya. Dan butuh keterlibatan semua pihak untuk menjadikannya obor yang menerangi jalan kita menuju Indonesia Emas 2045. Karena bagi kami, bonus demografi bukan isu baru. Ia adalah amanah sejarah yang telah kami rawat sejak lama, dan kini saatnya kita maksimalkan bersama.