drg. Arief Rosyid (Ketum PB HMI 2013-2015, Direktur Eksekutif Merial Institute)
Selama beberapa hari di Makassar, selain hadir untuk reuni FKG Unhas, pernikahan beberapa kolega, juga tentu saja sekedar mengajak anak-anak menjumpai kakek neneknya. Disela-sela itu, saya juga menyempatkan silaturrahim dengan Wakil Gubernur Sulawesi Selatan (Wagub Sulsel) Andi Sudirman, anggota DPRD Provinsi Sulsel Ismail Bachtiar, Ketum HMI Makassar Timur Ardiansyah, dan Staf khusus Wagub Zulhajar.
Sebagai orang yang lahir dan besar di Sulsel, saya ikut urun rembug tentang kondisi yg ada khususnya masalah kepemudaan. Tak banyak yang tahu sejak 2018, Indonesia sudah memiliki Indeks Pembangunan Pemuda (IPP).
Indeks ini sederhananya digunakan untuk mengukur sejauh mana kemajuan pembangunan kepemudaan di tingkat daerah dan nasional. Jadi tak cuma dilevel nasional, tapi dilevel daerah kita bisa mengukur apakah pemerintah berpihak kepada generasi muda atau tidak.
Menjadikan pemuda sebagai objek sekaligus subjek kebijakan telah tergambar di dalam banyak dokumen kebijakan pemerintah di RPJMN 2020-2024, UU No. 40/2009, Perpres No 66/2017, bahkan telah menjadi agenda global dalam Sustainable Development Goals (SDGs).
Sulsel termasuk satu dari sedikit daerah yang dengan cepat merespon perkara dokumen kebijakan ini dengan membuat Perda No.3/2018 tentang pembangunan kepemudaan. Tapi apa yang terjadi kemudian, aturan-aturan tersebut seperti mengendap tak berfungsi.
Level nasional hingga di daerah sama saja, surplus aturan tapi tak berjalan sesuai rencana. Akhirnya semua terjebak kembali pada rutinitas belaka, tak lagi mengupayakan secara serius apa yang sudah dirumuskan dengan baik tersebut.
Konon banyak yang membuat sejumlah dokumen ini mandek, seringkali alasannya karena agenda kepemudaan ini tidak masuk ke dalam agenda prioritas. Atau karena dibuat oleh periode sebelumnya, maka tidak menjadi sebuah kewajiban untuk menjalankannya kemudian.
Dalam konteks ini, generasi muda memiliki relevansinya untuk melakukan sesuatu. Terus bergerak untuk mendorong implementasi aturan yang sudah ada. Bukan apa-apa, kitalah sebagai objek sekaligus dari subjek pembangunan kepemudaan tersebut.
Sejarah juga telah mencatat di banyak tempat, generasi muda sebagai pelopor pembaharuan, pendobrak perubahan, dan pemicu sejumlah agenda kemajuan. Mereka juga sebagai tulang punggung kesuksesan bonus demografi.
Jika total penduduk Sulsel 8,7 juta jiwa, maka 24,96% atau sekitar 2,2 juta jiwa diantaranya kategori pemuda 16-30 tahun. Satu dari empat orang Sulsel adalah pemuda.
Jutaan jumlah diatas melampaui sepuluh pemuda yang dibutuhkan Soekarno untuk mengguncang dunia. Seharusnya tidak boleh lagi ada alasan kenapa Sulsel masih jauh dibawah standar dalam urusan pemuda.
Data kepemudaan yang saya peroleh dari Kemenpora menunjukkan Sulsel secara konsisten berada dibawah IPP nasional. Sejak 2015 berada pada peringkat ke-21, 2016 turun peringkat ke-30, 2017 tetap peringkat ke-30, dan 2018 naik peringkat ke-21.
Lima dimensi yang terdapat dalam IPP meliputi pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan, ketenagakerjaan, partisipasi dan kepemimpinan, serta gender dan diskriminasi menegaskan butuhnya koordinasi lintas sektor dalam agenda pembangunan kepemudaan tersebut.
Agenda pengarusutamaan pemuda memang tidak dapat lagi ditunda apalagi dibendung. Mereka tidak lagi sekedar dijadikan sebagai sasaran program di hilir, tapi sejak di hulu harus dilibatkan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga pada evaluasinya.
Upaya tersebut selain mengajak pemerintah untuk bekerjasama dalam agenda pembangunan kepemudaan, juga secara tidak langsung membangun budaya gotong royong. Dengan seperti ini tugas besar akan semakin ringan, tidak lagi berjalan masing-masing, tapi bersama-sama untuk satu tujuan.
Kehadiran banyak Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) di Sulsel harus juga berdampak pada pengawalan agenda strategis kepemudaan diatas. Pak Jusuf Kalla (JK) ketika ditanya soal kondisi beberapa organisasi yang pecah, menjawab dengan santai “satu saja banyak kegiatan apalagi dua”.
Belum lagi pengangkatan Tenaga Ahli Gubernur untuk Percepatan Pembangunan (TGUPP) Provinsi Sulsel tahun 2020, secara khusus menempatkan satu orang dengan keahlian kepemudaan. Sudah barang tentu penempatannya harus memiliki dampak yang jelas terhadap peningkatan IPP Sulsel.
Saya membayangkan kemarahan pemuda di Sulsel juga akan muncul pada saat nilai IPP-nya masih dibawah standar nasional. Setelah itu Pemerintah baru sadar, bahwa mereka telah merumuskan banyak kebijakan yang baik tapi tak mampu dijalankan dengan sebaik-baik dan sebenar-benarnya.