Oleh: M. Arief Rosyid Hasan Ketua Umum PB HMI Periode 2013-2015, Pendiri Inisiatif Ekonomi Masjid

Pada 20 Oktober 2022, saya diminta hadir sebagai pembicara kunci dalam acara Pelantikan dan Rapat Kerja Pengurus Majelis Daerah KAHMI dan FORHATI Kabupaten Karawang Periode 2022-2027. Tema yang diusung “KAHMI Bersinergi Membangun Negeri Merawat Pangkal Perjuangan untuk Kemajuan Peradaban.”

Sebuah kehormatan bagi saya dapat berbicara di hadapan para senior, teman segenerasi, hingga junior di HMI (Himpunan Mahasiswa Islam). Saya diundangan oleh Gus Chim (begitu sapaan Kanda Muslim Hafidz), salah satu Presidium MD KAHMI Kabupaten Karawang dan pernah menjadi salah seorang Majelis Pertimbangan dan Konsultasi (MPK) PB HMI 2013-2015.

Mungkin ini kali pertama, saya diundang secara resmi hadir di depan keluarga besar KAHMI untuk menyampaikan pidato kunci. Kalau di HMI hampir tiap pekan saya datang ke banyak daerah dengan berbagai jenjang training mulai dari LK3 (Advance Training), LK2 (Intermediate Training), LK1 (Basic Training), hingga Latihan Khusus KOHATI.

Beberapa poin yang saya sampaikan dalam forum tersebut kiranya menjadi sumbang saran jelang Musyawarah Nasional Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (Munas KAHMI) di Palu, Sulawesi Tengah yang akan dilaksanakan 24-28 November 2022.

Pertama, sejarah kelahiran KAHMI maupun FORHATI sebagai wadah pemersatu. Bertepatan dengan konsolidasi HMI setelah menghadapi ancaman pembubaran pada 1965 (puncak skenario penggayangan HMI oleh CGMI, PKI, dan antek-anteknya) dan menghimpun kekuatan (potensi dan sinergi alumni HMI) dalam menjawab tantangan dan perubahan.

Pada awal pendiriannya, KAHMI merupakan badan khusus HMI sebagai tempat informasi juga wadah konsultasi bagi HMI setempat. Seiring waktu, tepat pada 1987, KAHMI secara resmi putus hubungan dengan HMI karena sudah menjadi organisasi kemasyarakatan (ormas) tersendiri.

Secara implisit KAHMI mencerminkan tiga ciri alumni HMI yaitu keislaman, keindonesiaan, dan intelektualitas.  Para aktivis HMI terbiasa berkolaborasi dengan lintas organisasi mahasiswa seperti Kelompok Cipayung Plus. Inklusifitas KAHMI dengan kuatnya ikatan persaudaraan (ukhuwah Islamiyyah)sesama warganyadapat menjadi perekat ikatan kebangsaan (ukhuwah wathaniyyah) sesama anak bangsa.

Kedua, KAHMI ada karena HMI. Kesinambungan kerja alumni sebagai kader umat dan bangsa dalam mewujudkan tujuan HMI yakni “terbinanya insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam, dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT.”

Agenda ini harus secara kongkrit berdampak pada tumbuh suburnya komitmen terhadap keislaman, keindonesiaan, keumatan, dan kebangsaan. Panggilan sejarah HMI, KAHMI, dan FORHATI kekinian adalah aktualisasi lahirnya kader muslim, intelektual, dan profesional yang terus mengisi kanal pengabdian diberbagai sektor.

Para aktivis yang terbiasa berorganisasi memiliki soft skill dan jiwa kepemimpinan yang menjadi distingsi dalam kehidupan profesional. Meskipun masih ada pekerjaan rumah yang perlu dibenahi bagi para aktivis yang berkiprah dilingkungan corporate. Dua di antaranya adalah work ethic atau etos kerja dan mental kolaborasi.

Sejak 2020, bersama beberapa Ketua Umum PB HMI lintas periode dan Badan Pengelola Latihan PB HMI, kami mendirikan Yayasan Perkaderan Insan Cita. Kini telah membantu 134 aktivitas perkaderah di seluruh Indonesia. Upaya ini dilakukan untuk menjaga bening mata air perkaderan HMI. Support dari KAHMI tentu menjadi bahan bakar utama, tak ada KAHMI berkualitas tanpa HMI berkualitas.

Ketiga, reaktualisasi HMI connection atau penguatan jaringan HMI dibebagai sektor. Selama ini harus diakui jejaring KAHMI solid pada ruang politik, sedang ruang ekonomi, sosial, budaya, dan lain sebagainya masih belum optimal.

Pengalaman berkeliling Indonesia, mungkin sekitar 350 hingga 400 kabupaten/kota telah kami lalui. Bertemu dengan banyak sekali KAHMI diberbagai pegabdian. Misanya ketika berkunjung ke Ciamis Jawa Barat, saya bersilaturrahim dengan Agus Munawar. Sejak 20-an tahun, memulai aktivitas mendorong budaya literasi dari Desa Anjarsari lalu ke Soreang di Kabupaten Bandung. Ikhtiar ini berlanjut di Desa Winduraja, Kawali, Ciamis.

Di ranah ekonomi, Bahlil Lahadalia adalah salah satu contoh sukses meneruskan apa yang telah dirintis oleh beberapa KAHMI sebelumnya seperti Abdul Latif, Jusuf Kalla, dan beberapa senior lain yang berproses di Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI).

Sejak Bahlil menjadi Ketua Umum HIPMI, geliat KAHMI menjadi pengusaha di sebagai daerah tumbuh subur. Kini tampak terus menggeliat dilanjutnya Eka Sastra sebagai pelaksana tugas Ketum HIPMI dan calon penggantinya Anggawira.

Di dunia profesional berderet alumni mulai dari komisaris hingga direksi di berbagai perusahaan swasta maupun BUMN. Lebih banyak kolaborasi di ranah lain seperti pendidikan, jurnalis, aktivis masjid, aktivis lingkungan, kesehatan, advokasi hukum, dan sebagainya menjadi pilar kemajuan umat dan bangsa.

KAHMI, sebagaimana HMI, secara historis menyandang nama besar. Kebesaran dan sebaran alumni HMI yang begitu luas, ada di mana-mana, tentu membawa konsekuensi tanggung jawab sejarah dan moral yang seimbang.

Keseriusan KAHMI secara institusi mengorkestrasi potensi keluarga besar di berbagai sektor adalah tugas yang mendesak untuk dilakukan. Mempromosikan mereka yang tetap setia pada komitmen dasar keumatan dan kebangsaan. KAHMI perlu tampil lebih di depan menyusun jamaah, merapatkan dan meluruskan barisan untuk Islam dan Indonesia Maju.

Berjamaah untuk Indonesia Maju, Nurcholish Madjid atau Cak Nur sering menyebut konsep umatan washatan (umat penengah) atau titik temu keragaman. KAHMI menjadi perajut kolaborasi, berbagai golongan, profesi, bahkan perbedaan agama di titik tertentu. Dengan seperti itu, KAHMI akan menjadi kapal besar menuju terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT. Semoga!