Selalu menarik untuk belajar sejarah, apalagi sejarah yang sifatnya dekat dengan asal-usul kita, dan menariknya dampaknya masih kita rasakan sampai hari ini.
Akhir pekan di liburan panjang ini saya manfaatkan untuk kembali ke tanah leluhur keluarga, dan melintasi Kabupaten Barru, Pinrang, hingga ke Soppeng, dan, Sengkang. Ketiganya berada di wilayah Sulawesi Selatan.
Kali ini, saya tidak sendiri. Bersama rekan-rekan Merial Institute dari Makassar, kami bekerja sama dengan Komunitas Ngariksa dan Makassar Heritage Society. Di Komunitas Ngariksa, kami didampingi Prof. Oman Fathurahman. Sementara, dari pihak keluarga, saya mengajak serta Om Helmi Ali Yafie.
Mengawali kunjungan yang kami sebut dengan Rihlah Budaya, kami bertolak dari Makassar ke Kabupaten Barru. Kami berziarah ke makam ulama Sulsel Anregurutta K.H. Abdurrahman Ambo Dalle. Makam beliau berlokasi di samping Masjid Besar Ad Da’wah Ponpes DDI Mangkoso. Semasa hidupnya, AGH Ambo Dalle berjasa besar dalam pendidikan dan dakwah Islam.
Pada hari berikutnya, kami tiba di Sengkang dan bersilaturahmi bersama Gurutta Dr. Mahyudin Tahir dan sivitas akademika Pesantren As’adiyah. Ponpes As’adiyah adalah yang tertua dan terbesar di Indonesia Timur. Ponpes ini didirikan jauh sebelum Indonesia merdeka atau sejak tahun 1930. Tokoh di balik pendiriannya adalah ulama Bugis yang lahir dan menuntut ilmu di Makkah yang bernama K.H. Muhammad As’ad. Imam Besar Masjid Istiqlal saat ini, K.H. Nasaruddin Umar adalah salah satu lulusan Ponpes As’adiyah.
Setelah dari Sengkang, kami melanjutkan perjalanan ke Tadampalie Lagosi, Wajo. Kami berziarah ke makam Syekh Zainal Abidin. Pada batu nisannya, kemungkinan tahun wafat Syekh Zainanl Abidin adalah pada 1890-an. Syekh Zainal Abidin adalah penulis manuskrip mushaf Al-Quran dan penulis dakwah. Tulisan-tulisannya kami jumpai pula di kediaman Om Helmi di Jampue, Pinrang.
Menurut Prof. Oman, figur Syekh Zainal Abidin belum banyak diangkat dan dikaji para peneliti. Padahal, Om Helmi Ali Yafie sangat meyakini bahwa kontribusinya tidak kalah besar dibanding AGH Muhammad As’ad dan AGH Ambo Dalle.
Mushaf yang ditulis oleh Syekh Zainal Abidin berjumlah 52, meski baru tujuh yang ditemukan. Angka tersebut adalh hasil penelusuran Filolog Bugis, Dr. Husnul Fahimah Ilyas.
Kami berjumpa dengan Pak Zainal Abidin, ahli waris yang namanya mewarisi nama lengkap Syekh Zainal Abidin. Tim Rihlah Budaya pun memanfaatkan waktu untuk melihat satu per satu manuskrip yang disimpan oleh sang ahli waris. Kembali menurut Prof. Oman, sebagian besar koleksi manuskrip tersebut sudah ada dalam versi digital oleh tim PPIM UIN Jakarta.
Tulisan Syekh Zainal Abidin juga beragam, mulai dari ilmu falak, hingga fikih pernikahan. Sangat beruntung rasanya saya menjadi bagian dari tim Rihlah Budaya ini. Kami seolah memutar lorong waktu ratusan tahun lalu dan melihat warisan peradaban. Salah satu tujuan besar dari perjalanan ini adalah memetik pengalaman dan nasihat-nasihat di era tersebut sebagai bekal kami membangun peradaban ke depan. Bismillah!