Arief Rosyid Hasan
Ketua Umum PB-HMI 2013 – 2015
Founder Merial Institute
Nuzulul Qur’an, peristiwa turunnya Al-Qur’an, bukan hanya momentum spiritual semata. Peristiwa ini juga menjadi awal dari transformasi sosial yang mengubah wajah dunia. Al-Qur’an membawa nilai-nilai keadilan, kepemimpinan yang amanah, serta keberpihakan pada rakyat kecil. Kitab suci ini mengajarkan bagaimana pemimpin selain sebagai pemegang kekuasaan, juga harus menjadi pembawa cahaya perubahan.
Kepemimpinan dalam perspektif Al-Qur’an selalu berorientasi pada kesejahteraan umat, penguatan nilai-nilai kebajikan, serta keberanian dalam mengambil keputusan yang berpihak pada kemaslahatan banyak orang. Sejarah mencatat bahwa para nabi adalah figur pemimpin yang membangun peradaban dan memberikan teladan kepemimpinan yang bertumpu pada kejujuran, integritas, dan keberanian. Hal ini relevan dalam konteks hari ini, di mana tantangan kepemimpinan semakin kompleks, termasuk dalam pemerintahan di Indonesia.
Salah satu kisah yang paling relevan dalam membahas kepemimpinan dalam Al-Qur’an adalah kisah Nabi Yusuf. Dalam surah Yusuf ayat 55, Nabi Yusuf berkata: “Jadikanlah aku bendaharawan negeri (Mesir), karena sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga (amanah) dan berpengetahuan.” Ini adalah cerminan dari seorang pemimpin yang memiliki keahlian teknis dan integritas dalam mengelola sumber daya.
Nabi Yusuf menghadapi tantangan krisis pangan yang hebat. Dengan kebijakan strategisnya, ia memastikan ketahanan pangan bagi rakyat Mesir dan sekitarnya. Kisah ini menjadi refleksi dalam konteks kepemimpinan hari ini, di mana ketahanan pangan dan ekonomi menjadi prioritas utama. Di Indonesia, langkah-langkah strategis dalam memperkuat sektor pertanian dan pangan menjadi agenda utama untuk memastikan kesejahteraan masyarakat luas.
Kepemimpinan Umar bin Khattab juga sering menjadi rujukan dalam Islam. Dikenal sebagai pemimpin yang tegas, Umar mengutamakan kesejahteraan rakyatnya dan tidak ragu untuk turun langsung ke lapangan. Baginya, kepemimpinan adalah amanah besar yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab.
Jika menelaah nilai-nilai kepemimpinan dalam Al-Qur’an, prinsip-prinsip tersebut dapat diterjemahkan dalam kepemimpinan saat ini. Presiden Prabowo Subianto, dengan latar belakang kepemimpinan militer dan pengalaman panjang di bidang pertahanan, membawa pendekatan yang menekankan ketegasan, keberanian, dan keberpihakan pada rakyat kecil.
Salah satu kebijakan yang bisa dikaitkan dengan prinsip kepemimpinan Qur’ani adalah program makan bergizi gratis untuk anak-anak sekolah. Kebijakan ini sejalan dengan konsep keadilan sosial dalam Islam, di mana negara bertanggung jawab memastikan kebutuhan dasar rakyatnya terpenuhi. QS. Al-Ma’un menekankan pentingnya kepedulian terhadap anak yatim dan kaum miskin sebagai bagian dari manifestasi iman yang sejati.
Selain itu, kebijakan dalam memperkuat ketahanan pangan dan energi menjadi langkah strategis dalam menjaga stabilitas nasional. Jika melihat kebijakan Nabi Yusuf dalam mengelola lumbung pangan, strategi pemerintahan hari ini dalam memperkuat sektor pertanian dan ketahanan pangan menjadi sangat relevan. Ini adalah bentuk ikhtiar untuk memastikan kesejahteraan rakyat dalam jangka panjang.
Menerapkan kepemimpinan berbasis nilai-nilai Qur’ani tentu tidak mudah. Dalam era globalisasi yang penuh dengan ketidakpastian, seorang pemimpin harus mampu mengambil keputusan yang tidak hanya bersifat populis tetapi juga berorientasi pada kemaslahatan jangka panjang. Keputusan yang berlandaskan prinsip-prinsip keadilan, kemanusiaan, dan kesejahteraan sosial adalah kunci untuk menghadirkan transformasi yang sesungguhnya.
Di tengah tantangan geopolitik, perubahan iklim, serta disrupsi teknologi, pemimpin yang memiliki visi jauh ke depan adalah kebutuhan utama. Kepemimpinan yang baik bukan hanya tentang bagaimana bertahan di tengah krisis, tetapi juga bagaimana membangun pondasi yang kuat untuk masa depan.
Sebagaimana Nabi Yusuf membangun sistem ketahanan pangan yang berkelanjutan, pemimpin saat ini juga harus berani mengambil kebijakan jangka panjang demi kemaslahatan rakyat. Program peningkatan produksi pangan nasional, kemandirian energi, serta penguatan ekonomi berbasis keadilan menjadi agenda yang sejalan dengan semangat kepemimpinan Qur’ani.
Nilai-nilai dalam Al-Qur’an dapat menjadi inspirasi bagi siapa saja yang ingin menjalankan kepemimpinan yang membawa manfaat luas. Kepemimpinan bukan hanya soal kekuasaan, tetapi juga bagaimana seseorang bisa menjadi pelayan bagi rakyatnya. Sebagaimana yang diajarkan Rasulullah, “Sebaik-baik pemimpin adalah mereka yang mencintai rakyatnya dan dicintai oleh rakyatnya.”
Nuzulul Qur’an adalah momentum untuk kembali merenungi nilai-nilai luhur yang dibawa oleh kitab suci ini. Dalam konteks kepemimpinan, Al-Qur’an memberikan panduan yang jelas tentang bagaimana seorang pemimpin harus bertindak: penuh integritas, berpihak kepada keadilan, dan memiliki visi yang jauh ke depan.
Di era kepemimpinan Prabowo Subianto, upaya untuk membangun Indonesia yang lebih kuat dan berdaulat semakin nyata. Namun, tugas ini tidak bisa hanya diserahkan kepada pemimpin semata. Setiap individu, terutama generasi muda, harus turut serta dalam membangun bangsa dengan nilai-nilai Qur’ani sebagai pedoman.
Kepemimpinan sejati bukan hanya tentang siapa yang memegang kekuasaan. Lebih dari itu, kepemimpinan adalah bagaimana kekuasaan digunakan untuk menciptakan perubahan yang nyata. Seperti yang diajarkan dalam Al-Qur’an, pemimpin adalah pelayan bagi rakyatnya. Amanah yang diembannya harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab. Prinsip ini menjadi kunci utama untuk mewujudkan transformasi yang diimpikan.
Dengan memahami dan mengamalkan nilai-nilai Qur’ani dalam kepemimpinan, kita tidak hanya menjaga amanah, tetapi juga membuka jalan bagi transformasi yang lebih baik—menuju bangsa yang adil, sejahtera, dan berdaya saing. Dengan kepemimpinan yang berlandaskan amanah dan keadilan, target Indonesia Maju dengan kemiskinan 0 persen dan pertumbuhan ekonomi 8 persen dapat tercapai, sehingga cita-cita Indonesia Emas 2045 bukan sekadar harapan, melainkan sebuah keniscayaan. Sebab, seperti yang dikatakan dalam QS. Al-Isra’ ayat 9: “Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada jalan yang paling lurus.”