Pekan lalu, saya berkelana ke tiga provinsi di Pulau Sulawesi, yakni Provinsi Gorontalo, Sulawesi Selatan, dan berakhir di Sulawesi Barat. 

Saya tiba di Gorontalo pada Selasa (22/07). Di kota yang dulunya bergabung dengan Sulawesi Utara tersebut, saya ada agenda mengisi Latihan Kepemimpinan (LK II) HMI Cabang Gorontalo. Sejak pensiun sebagai Ketua Umum PB HMI pada 2016 silam, saya memang sudah bertekad untuk terus berperan aktif dalam perkaderan, dan berkontribusi bagi himpunan. 

Kemudian, saya bergeser ke Sulawesi Selatan, dan mendarat di Makassar pada Kamis (24/07), langsung bergeser ke Pangkep untuk bersua dengan teman-teman pemuda bicara tentang teknologi bersama Fanta Robotik.

Setelah dari Pangkep, saya singgah di Pondok Pesantren Darud Da’wah wal Irsyad (DDI) Mangkoso di Kabupaten Barru. Saya bersilaturrahim dengan Pimpinan DDI Mangkoso Anre Gurutta Kiai Faried Wadjedy dan Ustad Syafarudin. Selain silaturahim, kami juga meminta Pak KIai untuk memimpin doa, mendoakan kami, dan mendoakan Indonesia. Kami juga menyempatkan ziarah ke Makam Anregurutta Ambo Dalle.

Bergeser ke utara, ke Kabupaten Pinrang, saya sempatkan untuk mengunjungi daerah Jumpue, kampung keluarga saya dari garis keturunan Ibu.

ariefrosyid.id_masjid

Saya berkunjung tempat ini, saya sempat diceritakan silsilah keluarga. Singkatnya, garis keturunan ibu saya berasal dari Syekh Muhammad bin Abdullah Affandi. Keluarga ibu saya juga masih memiliki hubungan keluarga dengan istri Almarhum K.H. Ali Yafie, yakni Puang Isa.

Syekh Muhammad bin Abdullah Affandi adalah ulama dari Yaman, yang lahir di Izmir, daerah Turki saat ini. Saya pun mendapatkan jurnal yang menulis tentang Syekh Muhammad, yang ditulis Wardah Hamid pada 2019, berjudul ‘Jejak dan Kiprah Ulama Pinrang Abad XX’. Pada jurnal itu pula ditulis, Syekh Muhammad menikah dengan perempuan pribumi dan mempunyai keturunan. Sang penulis juga membahas, bagaimana tradisi pengajian intelektual melalui ‘mangngaji tudang’ dilaksanakan di wilayah Bugis, Makassar, dan Mandar.

Perjalanan ini memberi pengalaman yang emosional bagi saya. Apalagi, ziarah ini saya laksanakan belum lama sejak saya pulang dari Mekkah untuk berhaji. Bayangkan, sejak tahun 1609M di Lasinrang, Pinrang, berlangsung ikhtiar mulia untuk berdakwah dan mempersiapkan generasi-generasi emas umat Islam. Dari proses dakwah ini pula, terbentuk kekayaan kultural dan intelektual, untuk membangun anak-cucu Muslim yang bertakwa dan istiqomah. 

Benarlah ungkapan bahwa kita harus menghargai sejarah. Dengan menelusuri asal-usul, kita dapat lebih menghargai leluhur, dan mendapat dorongan untuk menorehkan sejarah baru pula, untuk anak cucu kita nantinya.