Arief Rosyid Hasan
(Ketum PB HMI 2013-2015)

Dua momen penting yang melekat pada ingatan saya terhadap Pak Sabam, pertama ketika hadir diacara ulangtahun beliau dan kedua di sebuah restoran dalam acara makan malam keluarganya.

Saya tentu tak dekat dengan beliau karena usia terlampau jauh, meski punya latar belakang yang sama sebagai aktivis cipayung (beliau tokoh di GMKI dan saya di HMI). 

Tapi itu tak menghalangi saya untuk merasa dekat, anak beliau Bang Ara sudah saya anggap abang sendiri. Kehadiran Bang Ara sangat bermakna untuk perjalanan hingga hari ini.

Sikap Bang Ara yang dikenal kritis dan teguh pada pendirian serta wujud keberpihakan pada rakyat adalah cermin dan turun dari sikap ayahnya, Pak Sabam.

Kembali ke pertemuan membekas diatas, masih detail dalam ingatan saya ketika pertemuan kedua bersama Pak Sabam. Dalam sebuah restoran cukup mewah, saya memenuhi undangan Bang Ara untuk berjumpa.

Tak dinyana dalam restoran tersebut berkumpul keluarga Bang Ara. Nampaknya ada makan malam keluarga besar Pak Sabam, entah dalam merayakan agenda apa atau sekedar agenda rutin keluarga. 

Lalu saya dikenalkan satu persatu kepada keluarga, ketika sampai ke kursi Pak Sabam, beliau dengan keras berujar, “Ada apa aktivis ke restoran seperti ini? Apa sudah pantas? Aktivis harus terhindar dari hedonisme”.

Belum saya menjawab, Bang Ara membantu “Saya yang mengundangnya dan tidak lama Pak”. Lalu saya digiring ke meja yang lain untuk benar-benar bicara dalam tempo singkat.

Bang Ara adalah salah satu mentor yang mengajarkan tentang keteguhan sikap untuk sebuah keyakinan, menghargai perbedaan, dan konsisten untuk menjadikan kebhinekaan sebagai sebuah kekuatan. 

Dalam banyak momentum, tak sedikitpun sikapnya mendikte untuk para aktivis dalam bersikap. Soal kekhawatiran ayahnya pada hedonisme yang memenjara aktivis tentu menjadi concern beliau juga.

Bang Ara adalah kakak bagi banyak aktivis pemuda, khususnya aktivis cipayung. Ia memayungi, membantu, hingga memagari agar aktivis terhindar dari split personality.

Sikap mengayomi seperti inilah yang dibutuhkan oleh aktivis. Mengingatkan adik-adiknya agar terhindar dari gegap gempita kemewahan, termasuk membisikkan pentingnya berpegang teguh pada idealisme.

Pepatah “Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya”, sekali lagi terbukti menyaksikan kiprah Bang Ara dan Pak Sabam dalam dinamika kebangsaan dan kenegaraan kita. 

Siang ini saya hadir ke rumah duka Pak Sabam untuk melepasnya dan memberi penghormatan terakhir. Sembari terus berdoa dan berikhtiar agar buku Pak Sabam “Politik itu Suci” terwujud. Selamat jalan Opung!