Headline Harian Kompas 20 Mei lalu cukup menjadi kabar mendung untuk kita semua. Tajuk utama surat kabar tersebut menghadirkan data BPS tentang semakin ‘seret’-nya lapangan kerja untuk Gen-Z, kelompok usia yang kini banyak menjadi sarjana baru.

Data tersebut menunjukkan, terjadi penurunan lapangan kerja selama 15 tahun terakhir. Selain itu, dari sisi penyerapan tenaga kerja, akhirnya hanya 13,6 persen lulusan S1 yang mendapat pekerjaan pada 2022 silam. 

Tak hanya persaingan untuk mendapat kerja, takaran penghasilan juga menurun. Disebutkan, rata-rata gaji pekerja formal pada tahun 2023 sebesar Rp 3,1 juta per bulan, sedangkan rata-rata upah pekerja informal Rp 1,9 juta.

Hasil olahan Kompas Data juga menemukan fenomena menarik. Karena serapan tenaga kerja formal menurun, para pencari kerja beralih ke sektor informal. Harian Kompas menulis, “Pada 2009-2014, jumlah pekerja informal sempat turun 1,9 juta orang. Namun, pada 2014-2019, jumlah pekerja informal justru naik 4,9 juta orang, dan semakin melambung pada 2019-2024, naik 8,4 juta orang.” 

Tapi, serapan tenaga kerja informal ini belum menjadi indikator selesainya masalah. Pasalnya, upah maupun akses perlindungan sosial pekerja informal tentu beda level dengan pekerja formal. 

Fakta-fakta ini saya sampaikan saat mengisi Z Future Leaders, sebuah forum yang diinisiasi teman-teman Centennial Z, Jumat (05/07) bertempat di Universitas Negeri Jakarta. 

ariefrosyid.id_gen z

Selain fakta bahwa kompetisi bagi Gen-Z semakin ketat, saya juga paparkan keterampilan yang harus dimiliki. Saya sadur dari portal LinkedIn Learning, 10 keahlian yang perlu dimiliki. Pertama, komunikasi, lalu pelayanan konsumen atau customer services, kepemimpinan, project management, manajemen, analisis, bekerja team, sales, pemecahan masalah, dan riset. 

Pada tahun-tahun sebelumnya, beberapa keterampilan wajib yang perlu dimiliki generasi muda juga saya sadur dari World Economic Forum (WEF). Secara garis besar, keterampilan tentang kepemimpinan, manajemen, sales, dan komunikasi, memiliki benang merah dengan skill-set yang direkomendasikan oleh LinkedIn Learning. 

Masih di forum Z Future Leaders, saya juga memaparkan karakter-karakter aktivis yang bisa diintegrasikan untuk menciptakan individu berdaya saing. Aktivis harus mau ditempa, harus siap diberi tugas-tugas di luar latar belakang ilmu atau passion-nya, dan harus punya banyak energi untuk silaturahmi alias berjejaring. Singkat kata, aktivis harus ‘agile’. Berhubung audiens di Z Future Leaders ini sudah menjurus menjadi aktivis, maka kesempatan ini dapat mereka gunakan dan tak lupa, terus mengasah keterampilan lainnya yang sedang ‘emerging’ secara global seperti referensi dari WEF maupun LinkedIn tadi. 

Akhirnya, saya menitipkan kepada teman-teman Gen-Z yang hadir. Bahwa, daya kompetitif teman-teman Gen-Z, selain akan berkontribusi untuk generasi mereka, tetapi juga akan menjadi kunci bagi bangsa kita untuk menjadi negara maju. Pada tahun 2045, kemerdekaan kita akan mencapai usia 100 tahun. Pada masa itu pula, bonus demografi yang kita dapatkan akan menunjukkan indikator apakah generasi muda kita berhasil untuk meraih indikator sebuah negara maju. 

Yang pasti, melalui berbagai amanah yang saya emban, komunitas-komunitas yang saya dukung, dan inisiatif-inisiatif yang saya gerakkan, Gen-Z harus selalu saya sertakan dan saya berikan peran. Mari saling memberdayakan, mari sambut kemajuan pada 100 tahun usia kemerdekaan!