Semangat aktivisme ini kembali berkejolak manakala saya diminta menjadi salah satu pemateri pada diskusi yang diakan Lembaga Penanggulangan Bencana Indonesia (LPBI) Nahdlatul Ulama (NU). Memang beberapa waktu belakangan, saya aktif dalam kepengurusan LPBI dan mengunjungi beberapa daerah dalam rangka berkhidmat di lembaga ini.
Kerelawanan juga bukan hal yang baru bagi saya. Sejak duduk di bangku S1 pada medio 2004 silam, saya sangat tergerak dan bersemangat terjun ke lapangan, dan memanfaatkan keterampilan medis khususnya kedokteran gigi, untuk membantu masyarakat yang membutuhkan. Kini, dengan posisi semakin strategis dan jejaring yang semakin berkembang, sayang rasanya jika tidak memaksimalkan kontribusi pada bidang kerelawanan dan penanggulangan bencana.
Kembali ke diskusi yang digagas LPBI, yang bertempat di kantor PWNU DKI Jakrta, Jumat 4 Agustus lalu.
Sebenarnya, tema dan diskursus yang kami bahas di diskusi bukanlah hal baru. Riset dari Kementerian PUPR telah menemukan, bahwa penurunan muka tanah berlangsung di Jakarta, dengan laju 12-18 cm per tahun. Karena laju penurunan tanah ini, diprediksi wilayah pesisir Jakarta akan tenggelam pada 2050. Daerah ini termasuk wilayah wisata dan permukiman padat di Marunda, Cilincing, Pluit, dan sekitarnya.
Diskusi ini bertujuan untuk kembali menggugah partisipasi masyarakat untuk bergerak dan memitigasi penurunan tanah ini. Dari sisi regulasi, Ketua LPBI NU DKI, Bang Laode Kamaluddin sudah menyampaikan, kita bisa mencegah pengambilan air tanah. Melalui Perda Nomor 10 tahun 1998, para pemangku kebijakan dapat melarang pengambilan air tanah, khususnya untuk industri dan usaha perkantoran.
Saya juga menggaris bawahi pada diskusi ini. Bahwa siapapun yang tutup mata pada masalah alam dan lingkungan yang ada di depan mata, sama saja dengan menyiapkan generasi anak cucu kita untuk sengsara!
Semoga lewat forum dan perbincangan lebih luas, kita semua dapat bergerak dan bersinergi untuk mencegah Jakarta tenggelam pada 2050 nanti.